Warga Desa Tumbang Ramei, Kecamatan Antang Kalang, mempertanyakan keseriusan pemerintah menjaga hutan di wilayah itu yang terancam ekspansi perkebunan kelapa sawit. Pasalnya, tim dari pemerintah daerah yang disebut-sebut akan turun mengevaluasi perizinan PT Bintang Sakti Lenggana (BSL), belum terlihat batang hidungnya oleh warga.
Kepala Desa Tumbang Ramei Natalis mengatakan, pihaknya belum pernah menerima tim dari Pemkab Kotim maupun undangan klarifikasi untuk menindaklanjuti pengaduan warga yang menolak perizinan PT BSL di wilayah mereka.
”Belum ada kabarnya sampai saat ini. Kami juga bertanya-tanya, bagaimana tindak lanjut perintah Pak Bupati Kotim untuk mencabut dan mengevaluasi izin BSL di wilayah kami,” ujar Natalis, Rabu (30/11). Natalis menegaskan, sikap warga tak berubah dan tetap pada komitmen awal menolak perluasan izin PT BSL di wilayah desa mereka dengan luasan sekitar 4.000 hektare. Pihaknya ingin tetap mempertahankan hutan tersebut.
”Ini merupakan keinginan masyarakat untuk tetap menjaga dan mempertahankan hutan itu. Apa pun konsekuensinya akan kami jaga,” ujar Natalis. Menurutnya, warga waswas selama perizinan itu belum dicabut. Pasalnya, perusahaan sewaktu-waktu bisa saja menggarap diam-diam areal hutan tersebut. Hal itu bisa menimbulkan masalah baru, karena warga terjebak dalam kondisi emosional yang bisa menyeret mereka ke proses hukum pidana.
Natalis tak ingin warganya dipancing untuk melakukan hal demikian, sehingga penolakan terhadap perizinan tersebut harus sampai tuntas pada pencabutan izin di wilayah Desa Tumbang Ramei. Natalis mengatakan, hutan seluas 4.000 hektare itu mereka usulkan menjadi kawasan hutan adat. Karena itu, tidak bisa lagi sembarangan ditebang dan digarap oknum tertentu. Masyarakat sekitar yang akan menjaganya.
”Kami juga mau mengusulkan ini menjadi kawasan hutan adat untuk wilayah kami demi menjaga hutan dan isinya,” katanya. Sementara itu, Asisten II Setda Kotim Alang Arianto tak berkomentar banyak mengenai tim bentukan penyelesaikan konflik perizinan PT BSL dengan warga Desa Tumbang Ramei. Dia mengaku belum mengetahui persis hasilnya.
”Langsung saja ke bagian SDA (Kabag Sumber Daya Alam, Red) yang kemarin langsung koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah,” ujar Alang. Bupati Kotim Halikinnor sebelumnya menegaskan akan tetap mempertahankan hutan sekitar 4.000 hektare di Desa Tumbang Ramei, Kecamatan Antang Kalang. Bahkan, dia tengah mengambil ancang-ancang mencabut izin di wilayah itu yang sedang berproses menjadi hak guna usaha (HGU) untuk PT Bintang Sakti Lenggana (BSL). Halikinnor menuturkan, lahan tersebut akan dijadikan sebagai hutan monumental. Apalagi kawasan itu merupakan hutan asli. Kayu yang tubuh sudah termasuk langka dengan usia ratusan tahun.
”Saya ingin jadikan hutan di Tumbang Ramei ini sebagai hutan monumental dan tetap dipertahankan, karena mungkin hutan semacam ini tidak ada lagi yang lain,” katanya, beberapa waktu lalu. Halikinnor mengungkapkan, ada banyak pihak yang berkepentingan dengan hutan di Desa Tumbang Ramei tersebut. Selain mengincar lahan yang berstatus areal penggunaan lain (APL), ada juga oknum perusahaan dan pengusaha mengincar kayu di dalamnya. Termasuk aparatur desa juga disinyalir punya kepentingan mengambil kayu hutan. Ekspansi PT BSL mengancam kawasan hutan di wilayah Desa Tumbang Ramei seluas sekitar 4.000 hektare. Warga melakukan perlawanan dan menolak kawasan hutan yang menyimpan kekayaan alam Kotim itu dibabat untuk perkebunan.
PT BSL mengantongi izin dengan total 9.566 hektare. Luasannya tersebar di Desa Tumbang Ngahan, Sungai Puring, Kuluk Telawang, Tumbang Kalang, Tumbang Manya, Tumbang Ramei, Tumbang Hejan, dan Tumbang Ngahan. Izin di wilayah Desa Tumbang Ramei merupakan izin usaha perkebunan (IUP), perluasan lokasi yang disetujui pemerintah daerah per 1 Oktober 2020. Ekspansi itulah yang ditolak warga setempat. (ang/ign)