Kasus kekerasan di Kalimantan Tengah selama 2022 lalu mengalami peningkatan. Hal itu salah satunya disebabkan para korban yang mulai berani bersuara dan melaporkan kejadian yang dialaminya. ”Berdasarkan data, kasus kekerasan pada 2022 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022, ada sebanyak 218 kasus kekerasan dan 2021 sebanyak 207 kasus,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kalteng Linae Victoria Aden, Rabu (18/1).
Linae mengatakan, peningkatan disebabkan masyarakat yang sudah mulai sadar dan berani melaporkan kasus kekerasan. Menurutnya, kasus kekerasan terhadap ibu dan anak ibarat fenomena gunung es, nampak sedikit di permukaan namun banyak yang belum terungkap. ”Terlebih masyarakat sudah mulai sadar dan berani melaporkan, baik korban atau masyarakat yang mengetahui tindak kekerasan yang terjadi melalui website dan hotline yang kami sediakan bagi masyarakat yang ingin melaporkan apabila terjadi tindak kekerasan,“ katanya.
Linae mengungkapkan, DP3APPKB Kalteng memberikan kesempatan kepada masyarakat agar berani melaporkan melalui website, hotline, WhatsApp DP3APPKB, dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA). Kepala Seksi Tindak Lanjut UPT PPA Rensi mengatakan, paling banyak kasus kekerasan seksual dan korban didominasi usia anak-anak. ”Sebenarnya hampir sama setiap tahun, yang paling banyak kekerasan seksual dan korban didominasi oleh usia anak,” ujarnya.
Menurut Rensi, faktor penyebab sebagian besar disebabkan pola asuh anak dan lingkungannya. Hal itu membuka peluang terjadinya kekerasan. ”Dari 218 kasus, jumlah korban yang mengalami kasus kekerasan dari anak-anak sebanyak 157 orang yang terdiri dari 129 perempuan dan 28 laki-laki. Kategori dewasa sebanyak 80 orang, terdiri dari 67 perempuan dan 13 laki-laki. Total sebanyak 237 korban kekerasan,” ujarnya.
DP3APPKB Kalteng juga mencatat jumlah korban berdasarkan bentuk kekerasan, yakni kekerasan fisik sebanyak 63 kasus, psikis 60 kasus, seksual sebanyak 112 kasus, trafficking 4 kasus, penelantaran sebanyak 12 kasus, dan kekerasan lainnya sebanyak 47 kasus. Rensi mengimbau orang tua agar melakukan pencegahan kekerasan dengan berperan dari rumah sendiri. Hal itu dilakukan dengan mempererat hubungan orang tua dan anak, atau suami-istri dengan membudayakan relasi antarkeluarga yang harmonis dan baik, sehingga membuat timbulnya rasa percaya dan cinta kasih. ”Ketika di dalam keluarga tumbuh perasaan cinta kasih, harapannya ketika anak di luar rumah akan terhindar dari pergaulan yang salah karena sudah teredukasi atas hal-hal yang berpotensi menjadi kekerasan. Pengawasan kepada anak-anak harus diberikan, namun dalam batas yang wajar, karena orang tua juga harus memperhatikan tumbuh kembang anak,” ujarnya. (ewa/ign)