SAMPIT – Konflik antara warga Desa Tumbang Ramei, Kecamatan Antang Kalang, dengan dengan perusahaan perkebunan PT Bintang Sakti Lenggana (BSL) menjadi perhatian pemerintah pusat. Meski demikian, pemerintah desa setempat masih mempercayakan penyelesaian pada Pemkab Kotim yang telah berkomitmen menjaga hutan di wilayah itu.
”Kami tetap berharap pada Pemkab melalui tim teknis yang sudah turun ke lokasi untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum areal Desa Tumbang Ramei yang masuk perizinan PT BSL tersebut,” kata Kepala Desa Tumbang Ramei Natalis, kemarin (22/1).
Menurut Natalis, persoalan warga dengan PT BSL menyita perhatian pemerintah pusat. Namun, pihaknya tak ingin mengadukan persoalan itu langsung ke Jakarta, karena sudah ditangani Pemkab Kotim.
”Memang ada perhatian khusus dari Kementerian terkait, terutama dari KLHK dan ATR BPN di Jakarta, tapi kami masih berharap selesai di tingkat daerah, supaya tidak terlalu lama. Sudah satu tahun kami berjuang menghadapi izin PT BSL,” kata Natalis.
Menurut Natalis, mereka berjuang keras mempertahankan hutan di wilayah itu. Warga ikhlas mengorbankan waktu dan biaya agar hutan perawan itu tetap asli dan bisa diwariskan kepada generasi berikutnya.
”Sudah setahun kami bolak-balik (Tumbang Ramei-Sampit) begini saja. Kalaupun perjuangan ini berakhir sia-sia, kami tidak akan menyesal karena kemampuan kami sudah kami gunakan untuk membela hutan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala BPD Tumbang Ramei Wandi optimistis perjuangan mereka tidak akan berakhir sia-sia. Pasalnya, hal yang diperjuangkan untuk kepentingan bersama.
”Saya punya keyakinan selama kita benar, selama membela kepentingan bersama, semuanya akan berakhir dengan sukses. Tidak ada keinginan lain, kami hanya ingin melindungi areal Desa Tumbang Ramei ini. Kami sudah banyak belajar dari desa-desa yang sudah digarap perkebunan dan kami tidak ingin terjadi di Desa Tumbang Ramei dan warga desa kami,” ujar Wandi.
Ekspansi PT BSL mengancam kawasan hutan di wilayah Desa Tumbang Ramei seluas sekitar 4.000 hektare. Warga melakukan perlawanan dan menolak kawasan hutan yang menyimpan kekayaan alam Kotim itu dibabat untuk perkebunan.
PT BSL mengantongi izin dengan total 9.566 hektare. Luasannya tersebar di Desa Tumbang Ngahan, Sungai Puring, Kuluk Telawang, Tumbang Kalang, Tumbang Manya, Tumbang Ramei, Tumbang Hejan, dan Tumbang Ngahan.
Izin di wilayah Desa Tumbang Ramei merupakan izin usaha perkebunan (IUP), perluasan lokasi yang disetujui pemerintah daerah per 1 Oktober 2020. Ekspansi itulah yang ditolak warga setempat.
PT BSL berdiri di bawah bendera kelompok usaha Nurdin Tampubolon Corporation, konglomerat Indonesia dengan bisnis menggurita. NT Corps merupakan perusahaan yang didirikan mantan anggota DPR RI dari Partai Hanura tersebut, yang kini menjabat tim ahli Wakil Presiden RI Ma’aruf Amin. Unit usahanya merambah berbagai bidang, seperti perkebunan, media, transportasi, properti, dan lainnya.
Bupati Kotim Halikinnor sebelumnya telah menegaskan akan mempertahankan hutan sekitar 4.000 hektare di Desa Tumbang Ramei. Bahkan, dia mengambil ancang-ancang mencabut izin di wilayah desa itu, meski izin itu sedang berproses. Bahkan, selangkah lagi akan jadi Hak Guna Usaha (HGU).
Menurut Halikinnor, lahan itu akan dijadikan sebagai hutan monumental. Apalagi hutan itu merupakan hutan asli dengan kayu langka dan usia ratusan tahun. ”Saya ingin jadikan hutan di Tumbang Ramei ini segai hutan monumental dan tetap dipertahankan, karena mungkin hutan semacam ini tidak ada lagi yang lain,” katanya, beberapa waktu lalu.
Tim teknis Pemkab Kotim dan DPRD Kalimantan Tengah turun ke Desa Tumbang Ramei tersebut pada 13 Desember 2022 lalu. Hasil pengecekan tersebut akan dibahas lagi di tingkat Pemkab Kotim terkait keputusan yang akan diambil nantinya.
Tim bertugas selama empat hari melakukan pengecekan lapangan pada areal PT BSL. Setelah melakukan pertemuan di balai desa, dilanjutkan cek lapangan di areal yang masuk perizinan PT BSL. (ang/ign)