SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

METROPOLIS

Jumat, 03 Februari 2023 12:05
Pria Diduga Mabuk Dibogem Massa di Sampit, Waspadai Bahaya Fenomena Hukum Rimba
DIHAKIMI MASSA: Amat terduduk di trotoar setelag dihakimi massa akibat berniat mencelakakan pengendara motor lain di Jalan MT Haryono Sampit, Rabu (1/2). (FAFAN/RADAR SAMPIT)

Sejumlah masyarakat di Kota Sampit masih terbiasa pada penerapan hukum rimba. Aksi kekerasan terhadap pelaku tindak pidana dilakukan dengan beringas dan barbar. Fenomena penghakiman jalanan berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial dan bernegara yang memegang teguh prinsip hukum dan hak asasi manusia. Aksi main hakim sendiri itu terjadi di Jalan MT Haryono, Sampit, Rabu (1/2). Seorang pria, Amat (31), jadi bulan-bulanan massa setelah melakukan tindakan yang dinilai berpotensi mencelakakan pengguna jalan lainnya. Amarah warga langsung meletup. Tanpa dikomando, langsung mengeroyok pemuda tersebut.

Berdasarkan rekaman video warga yang mengabadikan detik-detik penghakiman, peristiwa bermula ketika Amat menuntun sepeda motornya di Jalan MT Haryono. Hal itu dia lakukan di tengah jalanan. Gelagat Amat memang terlihat aneh dan mencurigakan. Ketika ada seorang pengendara dari arah depan yang mendekatinya, pria itu langsung menabrakkan motor yang dituntunnya. Pengendara yang mendapat ”serangan” dadakan itu kaget. Namun, dia berhasil menghindar. Dari keterangan beberapa warga, aksi Amat itu sudah menelan beberapa korban lain.

Warga pun langsung ramai-ramai mendatangi pria itu. Amat sempat tersungkur ke aspal. Selain bogem mentah, sejumlah tendangan juga mendarat di wajahnya. Akibatnya, dia mengalami luka di kepala, bibir, lengan, lutut, dan mata lebam. ”Dia (Amat, Red) jalan kaki. Motornya didorong, tapi kalau ada pengendara lewat motornya ditabrakan ke pengendara lain. Warga yang melihat itu emosi sampai akhirnya menghajarnya,” kata Nisa, warga yang menyaksikan peristiwa itu. Menurut Nisa, puluhan warga yang marah menghajar Amat secara membabi buta. Aksi brutal itu berakhir ketika salah seorang warga, berupaya menghentikannya dan meminta massa tak lagi memukuli pria itu. ”Saya teriakin semua supaya setop tadi. Saya takutnya massa makin banyak berdatangan,” ujar warga bernama Rusli yang juga seorang jurnalis ini. Saat diamankan warga, Amat tampak seperti setengah mabuk. Tubuhnya gemetaran. Dia mengaku pusing setelah dipukul warga, namun tak merasakan sakit. Amat mengakui tingkahnya mendorong motor pada orang lain memang membuat bahaya orang lain. Akan tetapi, dia tak menjelaskan alasannya melakukan perbuatan tersebut.

Tak lama setelahnya, Amat dibawa aparat Polres Kotim untuk diperiksa lebih lanjut. Informasinya, saat diinterogasi petugas dia memberikan jawaban serampangan. Amat juga mengaku minum arak. Namun, dia tak tahu alasan dia sampai dikeroyok massa. Warga Jalan Kembali itu akhirnya dipulangkan dan diminta tak mengulangi perbuatannya. Menurut pengendara lainnya, Amat juga membuat onar di Jalan HM Arsyad. Sebelumnya nyaris menabrak seorang ibu yang mengendarai motor sambil meneriakkan sesuatu. ”Tadi dia juga ada di Jalan HM Arsyad. Gayanya sambil nantangin orang berkelahi,” kata seorang warga.

Sementara itu, mengutip penjelasan Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia di website perguruan tinggi tersebut, Agnes Nauli Shirley W Sianipar mengatakan, aksi main hakim sendiri terkait dua fenomena psikologis yang disebut abuse of power dan bystander effect. Dalam teori abuse of power, setiap orang punya kecenderungan alamiah untuk mencari dominasi atau kuasa atas orang lain. Kecenderungan ini memanisfestasikan bentuk sosialnya lewat kelompok sosial. Berada dalam kelompok memberikan ilusi kuat atau berkuasa. Kekuasaan sangat erat kaitannya dengan faktor emosional dominasi.

Ketika amarah muncul, secara alamiah ingin menunjukkan dominasi kepada penyebab kemarahan. Hal ini terutama terjadi ketika teritori diganggu orang asing. Dia mencontohkan pada kasus seseorang yang diteriaki maling dan dihakimi massa. Saat itulah massa tersulut amarahnya karena merasa teritorinya dilanggar, walaupun dugaan tersebut belum tentu benar. Fenomena bystander effect juga turut berperan dalam terjadinya peristiwa main hakim sendiri. Peristiwa ini sebenarnya dapat dicegah seandainya para pengamat (bystanders) berani mengambil tanggung jawab dan berkata ”berhenti” sejak awal. ”Memang ada kecenderungan bahwa pengamat berilusi seolah-olah tanggung jawabnya sangatlah kecil, karena ia bukanlah satu-satunya pengamat yang melihat peristiwa,” ujar Agnes. Menurutnya, seringkali bystander effect terjadi karena sikap tidak mau ikut campur, bukan urusan saya, dan lain-lain. ”Namun, hal ini dapat diatasi bila kita memilih untuk mengambil peran dan terlibat atas apa yang kita alami,” ujarnya.

”Pemahaman bahwa kita berada disana, bukan hanya sekedar kebetulan, namun kehadiran kita dapat memberi makna positif bagi masyarakat bila kita mau terlibat dan bertindak demi kemanusiaan. Saat akal sehat telah digantikan oleh ilusi kekuasaan kelompok, saat itulah kita harus berani berkata tidak atau jangan atau hentikan,” ujarnya. Selain itu, mengutip ulasan dalam laman hukumonline.com, main hakim sendiri dalam istilah pidana disebut eigenrichting. Meski ada istilah khusus, perbuatan main hakim sendiri tidak diatur secara khusus dalam KUHP.

Pelaku main hakim sendiri tidak bertindak sebagai korban atau penyelamat korban, melainkan sebagai pelaku kejahatan atas penganiayaan, kekerasan, atau perusakan. Meskipun tidak diatur secara khusus, para pelaku yang bertindak anarkis dengan dalih ”menyelamatkan” korban dapat dikenai sejumlah sanksi pidana. Disarikan dari Pidana Bagi Pelaku Main Hakim Sendiri, sanksi yang dimaksud termuat dalam KUHP Pasal 351 tentang Penganiayaan dan Pasal 170 tentang Kekerasan.

Pada Pasal 351 menerangkan, penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500. Apabila mengakibatkan luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jika mengakibatkan mati, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ancaman pidana Pasal 170 KUHP, penjara paling lama lima tahun enam bulan. Kemudian, jika dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasannya mengakibatkan luka-luka, pelakunya diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun. Apabila mengakibatkan luka berat, diancam pidana penjara paling lama sembilan tahun. Jika mengakibatkan kematian, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika penghakiman jalanan terus dibiarkan, menurut Yulianta Saputra dalam tulisannya tentang Main Hakim Sendiri sebagai Bentuk Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap (Penegakan) Hukum, berpotensi terjadi akumulasi ketidaktaatan hukum dalam masyarakat, sehingga hukum seolah-olah tak berdaya.

Warga akan cenderung menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri (individualistik) tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Lebih ekstrim lagi, bisa terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus). (ang/ign) 

loading...

BACA JUGA

Rabu, 09 September 2015 00:45

Uji Kebohongan, Tim Hukum Ujang Dukung Uji Forensik

<p>&nbsp;PALANGKA RAYA - Tim Kuasa Hukum Ujang-Jawawi menyatakan penetapan hasil musyawarah…
Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers