Korupsi dana desa masuk dalam urutan tiga teratas dalam pengelolaan keuangan. Hal ini menjadi perhatian serius Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (RI) untuk memberantas korupsi hingga ke tingkat desa. Upaya itu dilakukan dengan membentuk program desa antikorupsi.
HENY-radarsampit.com, Sampit
Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk dana desa yang nilainya terus bertambah. Ada desa yang menerima anggaran hingga miliaran rupiah. ”Dana desa yang dialokasikan pemerintah dari tahun 2015 sampai sekarang lebih lebih dari Rp468 triliun. Ada ada desa yang menerima puluhan juta, Rp900 juta hingga Rp2 miliar dan ada desa di Indonesia yang menikmati dana desa hingga mencapai Rp5 miliar. Bisa dibayangkan, ada banyak desa yang terlibat melakukan tindak pidana korupsi karena terlena anggaran dana desa yang nilainya cukup besar,” kata Friesmount Wongso, Ketua Tim Observasi Desa Antikorupsi Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK RI.
Dalam kunjungannya ke Desa Mekar Jaya, Kecamatan Parenggean dan Desa Bagendang Hilir, Kecamatan Mentaya Hilir Utara selama dua hari pada 3-4 Maret 2023, Friesmount mengatakan, KPK RI mencatat 851 kasus korupsi terjadi di desa selama 2015-2022. Sebanyak 973 pelaku yang terlibat korupsi sebagian besar merupakan kepala desa, sekretaris, bendahara, dan aparatur desa lainnya. ”Ternyata pelaku korupsi tidak hanya di kalangan pejabat menteri, gubernur, bupati, kepala dinas saja, tetapi kepala desa lebih korup. Dan, kasus korupsi di desa menempatkan urutan tiga teratas terbanyak dalam pengelolaan keuangan. Kami prihatin dan malu melihat aparatur desa yang masih banyak ditemukan melakukan tindakan korupsi,” kata Friesmount saat observasi ke Desa Mekar Jaya, Jumat (3/3).
Parahnya lagi, 41 kasus korupsi di desa yang tercatat terjadi di Kalteng. Kasus korupsi paling tinggi terjadi di Jawa Timur sebanyak 76 kasus dan Jawa Barat 76 kasus korupsi. Untuk kasus korupsi di desa paling sedikit terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang hanya ditemukan satu kasus.
”Di Kalteng ada 41 kasus korupsi yang dilakukan aparatur desa. Ini angka kasus yang cukup tinggi dan memprihatinkan,” katanya. Friesmount menuturkan, ada banyak modus korupsi dana desa, di antaranya penggelembungan anggaran. Contohnya, menaikkan harga pembelian dan pembelanjaan barang.
”Penggunaan dana desa biasanya menggunakan bukti melalui nota belanja dan di sini biasanya peluang korupsi itu bisa terjadi. Desa itu paling enak menggunakan dana, karena hanya diputuskan dalam musyawarah desa. Kalau ada dana, pekerjaan bisa jalan. Tetapi, harus ada kontrol dari masyarakat, karena masyarakat yang memutuskan, menyetujui, dan mengevaluasi. Semua itu harus dilakukan transparan, tidak ada rahasia yang harus ditutup-tutupi,” katanya. Modus korupsi di desa juga dapat terjadi dengan proyek fiktif. ”Program yang sebenarnya tidak ada, seperti pengadaan seragam, peningkatan jalan, dan lain-lain diada-adakan agar memperoleh pencairan dana desa. Laporannya juga fiktif. Laporan proyek dibuat seakan-akan sudah selesai, padahal tidak ada dikerjakan,” ujarnya.
Modus korupsi dengan melakukan penggelapan dana desa dan penyalahgunaan anggaran juga kerap terjadi. ”Memalsukan tanda tangan bendahara desa dalam proses pencairan dan digunakan untuk kepentingan pribadi ini termasuk penggelapan dana desa dan anggaran yang terpakai disalahgunakan dan tidak diperuntukkan sesuai perencanaan. Justru dipakai untuk kepentingan pribadi,” ujarnya. Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di desa menginisiasi KPK untuk melakukan terobosan dengan membentuk program desa antikorupsi. Program itu pertama kali dimulai tahun 2021, tepatnya di Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Program dilanjutkan tahun 2022 di sepuluh provinsi, yakni Sumatera Barat, Lampung, Kalbar, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Sulawesi Selatan. Pada 2023 ada 22 provinsi, salah satunya di Kalimantan TENGAH ada enam desa dari tiga kabupaten, yaitu Lamandau, Kotawaringin Barat, dan Kotawaringin Timur yang telah dilakukan observasi oleh Tim Observasi Desa Antikorupsi KPK RI selama enam hari.
”Jadi, diharapkan target tahun ini selesai 33 provinsi, kecuali DKI Jakarta tidak ada desa. Jadi, 34 provinsi plus pemekaran di Papua yang belum membentuk pemerintahan yang definitif tidak dilakukan observasi. Satu provinsi satu paling tidak memiliki satu desa percontohan desa antikorupsi dan ditargetkan 4-5 tahun ke depan semua desa di Indonesia menjalankan program tersebut,” katanya. (hgn/bersambung)