SAMPIT, radarsampit.com – Pedagang kue ipau, penganan yang memicu keracunan massal sejumlah warga Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), tak menyangka usahanya bakal bermasalah. Selain jadi sorotan publik, kue khas ramadan yang dia jual juga tengah diusut aparat kepolisian.
”Gak menyangka saja. Soalnya saya jual kue ini (kue ipau, Red) sudah sepuluh tahun lalu. Baru kali ini ada masalah,” kata Ipul, pedagang kue ipau, Sabtu (1/4). Dia yakin makanan yang dijualnya bukan sumber masalah yang menyebabkan puluhan orang keracunan. Meski demikian, pihaknya menyerahkan kasus tersebut sepenuhnya kepada aparat kepolisian.
”Kami tidak ingin berkomentar banyak dengan kejadian ini, karena kami sudah mempercayakan kasus ini kepada pihak berwajib,” ujarnya.
Kue Ipau atau disebut juga "wadai ipau", merupakan kue khas Ramadan asal Kalimantan Selatan. Kue ini berwarna putih, berbentuk bulat dengan taburan daging di lapisan atasnya dan memiliki tekstur lembut. Lapisan adonan terbuat dari tepung terigu, telur dan susu. Isinya terdiri dari campuran wortel, kentang, bawang bombay, daging, dan sayuran lainnya.
Seperti dikutip dari Antara, kue ipau dimasak dengan cara dikukus. Setelah matang, disajikan dengan cara disiram kuah santan dan ditaburi seledri, daun bawang, dan bawang goreng.
Tampilannya mirip Lasagna atau makanan tradisional Italia berupa pasta yang dipanggang di oven. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat yang memberi penyebutan lain terhadap kue ipau dengan nama "Pizza Banjar" karena bentuknya disandingkan dengan bentuk Pizza.
Kue ipau semakin dikenal, tidak terkecuali di Sampit. Apalagi di daerah ini banyak "urang Banjar" atau berasal dari Kalimantan Selatan maupun keturunan Banjar. Mereka selalu rindu dengan kuliner-kuliner khas Banjar. Karena rasanya yang enak, kue ipau semakin disukai masyarakat luas. Tetapi, tidak sedikit pula yang masih asing dengan jenis kue ini.
Keracunan
Satu keluarga di Jalan Bumi Raya, Kecamatan Baamang, Sampit, mengalami keracunan usai mengonsumsi kue ipau. Ada lima orang yang menjadi korban, terdiri dari pasangan suami istri, ibu rumah tangga, dan dua anak-anak. Bahkan, sang kepala keluarga meninggal dunia akibat kejadian itu. Korban meninggal itu merupakan satu-satunya dari puluhan orang yang keracunan.
Kejadian berawal saat keluarga tersebut berbuka puasa bersama dan menyantap kue ipau yang dibeli dari usaha Ipul di Jalan Usman Harun, Rabu (29/3) siang. Awalnya tidak ada masalah. Namun, keesokan paginya, lima penghuni rumah mengalami diare disertai demam.
”Sore harinya, kepala anggota keluarga tersebut dikabarkan meninggal dunia. Empat lainnya masih sakit-sakitan,” kata sumber Radar Sampit yang meminta namanya tak disebutkan.
Empat orang tersebut masih dalam perawatan. ”Korbannya ada yang berusia tujuh tahun. Yang meninggal itu kakek si korban,” ujarnya.
Jumlah korban keracunan massal kue ipau sebelumnya bertambah dari 35 orang menjadi 55 orang. Mereka tersebar di Kecamatan MB Ketapang, Kotabesi, Baamang, Cempaga, dan Antang Kalang.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kotim Umar Kaderi mengatakan, jumlah korban bisa bertambah seiring laporan masyarakat dan laporan dari puskesmas. Karena itu, dinkes mengimbau puskesmas segera membuat laporan jika menemukan kasus keracunan tersebut.
Pihaknya telah mengambil sampel kue ipau yang dibuat pada 28 dan 29 Maret untuk diuji di Labkesda. Dari hasil sementara, kue tersebut banyak mengandung bakteri escherichia coli atau e. coli, bakteri yang dapat menimbulkan diare dan sakit perut.
Terkait satu pasien yang meninggal dunia, menurutnya, belum sempat dirawat di rumah sakit. Dari informasi yang diterima dinkes, pasien yang meninggal tersebut juga memiliki komplikasi penyakit lain.
”Mungkin karena terlalu banyak muntahnya, terlalu banyak diare sehingga kekurangan cairan dehidrasi, juga karena ada komplikasi penyakit lain. Pasien belum sempat dirawat, jadi meninggal di perjalanan perjalanan, belum sempat ditangani," kata Umar.
Implikasi Hukum
Praktisi hukum di Sampit Agung Adisetyono mengatakan, perkara keracunan massal kue ipau bisa saja melanggar dua undang-undang sekaligus, yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang tentang Pangan. Pertanggungjawaban pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam ketentuan tersebut, pelaku usaha diwajibkan bertanggung jawab, seperti memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang, jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Namun, itu tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
”Tapi, pertanggungjawaban pelaku usaha ini tidak bisa serta merta dan tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen atau pembeli,” jelasnya.
Agung melanjutkan, untuk pertanggungjawaban pidana, diatur dalam Pasal 134 UU 18/2012 tentang Pangan. Dalam ketentuan itu disebutkan, setiap orang yang melakukan produksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp2 miliar.
Menurut Agung, proses dalam kasus itu biasanya akan lebih banyak dalam ilmu kedokteran, di antaranya meliputi pemeriksaan sampel makanan, hasil pemeriksaan dokter, dan keterangan korban.
”Hasil sampel makanan dapat membuktikan jika makanan tersebut positif mengandung zat berbahaya untuk tubuh dan dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan korban,” katanya.
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Palangka Raya Kalteng sebelumnya ikut menelusuri keracunan massal kue ipau di Kotim. Berdasarkan gejala yang dirasakan para korban, diduga ada mikrobiologi pada makanan tersebut.
”Dari kejadian keracunan ada banyak faktor, utamanya adalah higien dan sanitasi. Kalau dilihat dari gejala yang disampaikan, kemungkinan mikrobiologi. Mikrobiologi ini erat kaitannya dengan higien dan sanitasi tempat pengolahan. Baik tempat pengolah makanannya, juga bahan baku ataupun bahan pengemasannya," kata Wiwik Wiranti, Ketua Tim Kerja BBPOM Palangka Raya, Sabtu (1/4).
BPOM telah mengambil sampel bahan baku yang digunakan untuk membuat kue ipau tersebut. Sampel itu akan diuji di laboratorium BBPOM Palangka Raya. Perlu waktu 1- 2 minggu untuk memastikan penetapan angka penyebab parameter yang akan diuji.
”Kalau ditemukan ada kandungan berbahaya yang menyebabkan keracunan, tindak lanjutnya kita lakukan pembinaan kepada pembuatnya dan pedagang yang lain supaya mengutamakan higien dan sanitasi," katanya.
Kapolres Kotim AKBP Sarpani sebelumnya mengatakan, telah memeriksa sepuluh saksi terkait kasus keracunan massal. Kepolisian melaksanakan sejumlah rangkaian penyelidikan untuk membuat terang terkait kasus tersebut. (sir/ang/ant/ign)