Tumpukan sampah di Jalan Sawit Raya, Sampit, selama berbulan-bulan akhirnya mulai diangkut petugas kebersihan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Satu alat berat loader dan enam unit truk dikerahkan untuk membereskan sampah. Tumpukan sampah berada di lahan milik masyarakat yang sudah dihibahkan ke Pemkab Kotim. Rencananya, lokasi itu akan dibangun depo sampah. Namun, belum dibangun depo, semua masyarakat diarahkan ketua rukun tetangga (RT) setempat untuk membuang sampah di lokasi tersebut.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya Beracun DLH Kotim Gatot Ismutarto mengatakan, pihaknya sudah menugaskan petugas kebersihan untuk mengangkut sampah dengan alat berat loader. “Pengangkutan sampah di Jalan Sawit Raya mulai dikerjakan secara bertahap dibantu loader. Hanya saja loader tidak bisa masuk ke dalam lahan, karena jembatan titiannya tidak kuat dilintasi alat berat. Apabila tidak selesai dikerjakan hari ini, akan kita lanjutkan setelah Lebaran secara manual (diangkut oleh petugas kebersihan),” kata Gatot Ismutarto, Senin (3/4).
Meskipun lahan tersebut akan dibangun depo, namun proses pembangunan depo belum dilakukan. Petugas kebersihan fokus mengangkut sampah pada depo yang tersebar di sekitar Kota Sampit. Ada tujuh depo dan satu TPS 3R yang tersebar di Kota Sampit diantaranya empat depo besar masuk wilayah Kecamatan MB Ketapang yang berlokasi di Jalan Pelita, Tartar dan Belakang Swalayan Bintang dan satu depo besar di Jalan Cristopel Mihing, Kecamatan Baamang. Untuk mengatasi kekurangan depo di Kecamatan Baamang, DLH Kotim menyediakan lagi tiga depo mini di Kecamatan Baamang yang berlokasi di Jalan Tidar, Sampurna, dan Antang Barat, serta satu TPS 3R di Jalan Kopi Selatan yang termasuk wilayah Kecamatan MB Ketapang. Total ada empat depo besar, tiga depo mini, dan satu TPS 3R yang disediakan Pemkab Kotim. “Semua sampah ditujuh depo dan TPS 3R diangkut setiap hari oleh petugas kebersihan. Kami akui petugas kebersihan tak ada rute pengangkutan sampah ke Jalan Sawit Raya karena lahan itu bukan tempat pembuangan sampah tapi akan direncanakan dibangun depo,” kata Gatot.
Pembangunan depo di Jalan Sawit Raya direncanakan memiliki panjang 10 meter, lebar 6 meter dan tinggi 6 meter. Dibangun diatas lahan milik masyarakat seluas 20 meter x 50 meter yang sudah dihibahkan ke pemerintah daerah dan sudah melalui proses kajian teknis di lapangan. “Sesuai dokumen perencanaan anggaran (DPA) pembangunan depo di Jalan Sawit Raya dianggarkan sebesar Rp 300 juta untuk perencanaan dan penimbunan tanah yang akan mulai setelah Lebaran ini,” katanya.
Sebelumnya, pada Juli 2022 lalu, DLH Kotim sudah pernah mengangkut sampah di Jalan Sawit Raya sampai menyewa lima unit dump truk dan tambahan alat berat excavator dari Dinas PUPRPRKP Kotim. Selama dua hari petugas dari Dinas PUPRPRKP Kotim dilibatkan untuk gotong royong bekerja lembur mengangkut sampah hingga 53 rit. “Lokasi awalnya didekat Masjid Ash Shidiq, setelah itu dipindah ke lokasi Jalan Sawit Raya Ujung sekitar 200 meter dari lokasi pembuangan sampah yang lama. Dulu sudah pernah diangkut, sekarang sampah menumpuk lagi,” ujarnya. Kepala Seksi Penanganan Sampah Yayat Hidayat menambahkan penyediaan tempat pembuangan sampah (TPS) tidak sepenuhnya menjadi tanggungjawab DLH Kotim. Tetapi, juga menjadi tanggungjawab developer (pengembang) perumahan.
Jalan Sawit Raya termasuk kawasan padat permukiman yang terus berkembang. Ada empat bahkan lebih kawasan perumahan, tetapi tidak ada satupun developer yang menyediakan tempat pembuangan sampah. ”Persoalan sampah tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah untuk menyediakan TPS atau depo, karena developer juga punya kewajiban menyediakan sarana dan prasarana utilitas umum, pembukaan jalan, selokan, sarana air bersih, penyediaan ruang terbuka hijau setidaknya 20 persen dari luas kawasan perumahan dan termasuk menyediakan tempat pembuangan sampah yang dikelola oleh perumahan atau ketua RT setempat,” ujarnya.
Dalam kondisi sedang berpuasa, petugas kebersihan dituntut harus membersihkan sampah yang menumpuk, padahal bukan TPS resmi. “Semua petugas kebersihan terbagi menjadi tujuh regu yang sudah memiliki jadwal rutin setiap hari untuk mengangkut sampah. Bukan petugas kami tidak mau mengangkut, angkutan sampah rutin di depo saja itu sudah melelahkan, apalagi dalam kondisi berpuasa mereka tetap harus bekerja seperti biasa. Lingkungan di sekitar rumah saya saja belum tentu bersih, kita harus membersihkan sampah di lingkungan orang lain, sementara masyarakatnya tidak mau tahu dan asal buang sembarangan,” ujarnya.
Kesadaran masyarakat yang rendah ditambah ketua RT yang kurang cakap berkoordinasi menjadikan persoalan sampah terus terjadi. “Ketua RT-nya saja tidak ada koordinasi. TPS lama sudah ditutup, dipindahkan ke sini, petugas kebersihan yang angkut tosa keliling juga menyebut Ketua RT yang mengarahkan buang ke sini padahal ini bukan TPS. Kalau memang mau, bisa saja kami siapkan kontainer, tapi dimana lokasinya? Jangan sampai kami yang disalahkan karena salah tempat,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat semestinya harus dapat memahami pekerjaan petugas angkut kebersihan DLH yang memiliki tanggungjawab mengangkut sampah di depo dan TPS yang sudah terdata dan terjadwal. “Sampah menumpuk, masyarakat tidak mau tahu maunya kita angkut, tapi tidak tahu apa yang petugas kami hadapi di lapangan. Waktunya petugas tidak hanya dihabiskan mengangkut sampah yang masyarakat buang disembarang tempat, tetapi petugas kami punya tanggungjawab rutin yang harus dikerjakan,” ujarnya.
Kendati demikian, tak semua masyarakat tak peduli dengan penanganan angkutan sampah. Masih ada ketua RT yang mau peduli menjaga lingkungan sekitar rumahnya dengan menawarkan bayaran upah langsung ke petugas kebersihan. “Ada perumahan di Pandawa itu Ketua RTnya pengertian dan memahami pekerjaan petugas kebersihan di lapangan. Mereka yang menawarkan untuk membayar petugas kebersihan untuk keperluan operasional di lapangan. Kami tidak meminta tapi itu atas kesadaran masyarakat sendiri. Ketua RT menarik iuran ke masyarakat dan uang itu dibayarkan untuk mengangkut sampah,” ujarnya. Yayat menambahkan, petugas kebersihan memerlukan biaya operasional untuk BBM. Ada delapan petugas dalam setiap regu. Sopir membawa truk, sedangkan lima petugas angkut datang ke lokasi membawa motor hanya untuk membantu mengangkut sampah. “Kita sama-sama saling pengertian, saling membantu, pekerjaan beres, masalah sampah teratasi, lingkungan perumahan juga menjadi bersih. Kalau ketua RTnya tidak peduli, tambah lagi masyarakat tidak mau tahu, persoalan sampah akan terus terjadi, tidak hanya di Jalan Sawit Raya, tetapi bisa jadi terjadi dititik lokasi lainnya,” tandasnya. (hgn/yit)