PALANGKA RAYA – Sekitar 400 orang utan Kalimantan Tengah masih menjalani rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orang Utan Nyaru Menteng, Palangka Raya. Satwa dilindungi tersebut akan dilepasliarkan jika masa rehabilitasinya selesai.
Chief Executive Officer Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite mengatakan, rehabilitasi merupakan upaya melindungi satwa langka itu dari kepunahan. Perlindungan dan pelestarian orang utan akan semakin berkembang dan terjaga. Keberadaan orang utan bisa menjaga keseimbangan ekosistem.
”Agar ekosistem berkembang, memerlukan adanya orang utan dan sebagai gantinya, memberi manusia udara yang segar, air bersih, serta iklim yang teratur," ujarnya, Rabu (14/6).
Hal tersebut disampaikan Jamartin saat pelepasan sepuluh orang utan yang telah selesai direhabilitasi. Pelepasliaran dilakukan ke hutan alami di kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) wilayah kerja Resort Tumbang Hiran. Hal tersebut merupakan kedua kalinya dilakukan Yayasan BOS tahun ini.
Orang utan yang dilepas tersebut diselamatkan dari berbagai daerah di Kalteng. Satwa itu masing-masing telah diberi nama yang tak kalah unik dengan manusia, yakni Aristo (20), Lalang (23), Noni Partono (9), Svenja (19), Yoko (10), Syahrini (10), Kejora (9), Susanne (10), Mama Edwan (36), dan Edwina (6).
Masing-masing satwa yang dilepasliarkan tersebut memiliki kisah tersendiri. Aristo, misalnya, orang utan jantan tanpa induk yang diselamatkan dari area perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur pada 12 September 2006. Saat tiba di Nyaru Menteng, ia masih berusia 2,5 tahun dengan berat badan 4,1 kg.
Selepas masa karantina, Aristo mengikuti Sekolah Hutan dan mampu menyelesaikannya dengan baik sampai akhirnya mendapatkan kesempatan mengikuti proses akhir dari semua tahapan rehabilitasi yaitu prapelepasliaran.
Pada 31 Desember 2019, Aristo dipindahkan ke Pulau Bangamat. Satwa itu menunjukkan perkembangan perilaku yang cukup menggembirakan selama berada di pulau tersebut.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) Andi Muhammad Khadafi mengatakan, pelepasliaran merupakan proses panjang yang dimulai dari tindakan penyelamatan satwa. Kemudian dilanjutkan rehabilitasi, pelepasliaran, serta monitoring untuk memastikan satwa bisa hidup dan berkembang biak di habitatnya.
Mendukung upaya tersebut, pihaknya kembali meresmikan pondok monitoring orang utan di jalur Sungai Hiran, Resort Tumbang Hiran, SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional) Wilayah II, Kalteng.
Dia menambahkan, sejak 2016, Balai TNBBBR bekerja sama dengan BKSDA dan Yayasan BOS telah melepasliarkan sebanyak 189 individu orang utan. Melalui pelepasliaran 10 individu yang terbaru, total yang telah dilepasliarkan sebanyak 199 satwa.
"Tercatat ada tujuh kelahiran alami di TNBBBR sejak pelepasliaran orang utan pertama dilakukan di sini sejak 2016," katanya.
Kepala BKSDA Kalteng Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan, upaya konservasi satwa liar selalu menghadapi tantangan yang semakin besar. Karena itu, perlu didukung semua pihak.
”Pemerintah berkomitmen melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia melalui upaya konservasi yang sistematis, yakni perlindungan sistem pendukung kehidupan, pelestarian keanekaragaman spesies, dan ekosistemnya serta pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan," ujarnya. (daq/ign)