Transaksi mencurigakan ribuan calon anggota legislatif (caleg) yang ditemukan PPATK bisa menjadi pintu masuk penegak hukum untuk melakukan penelusuran dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha menyebut, para caleg itu bisa dijerat karena menjadi bagian dari integrasi dan placement (penempatan) dalam proses pencucian uang. Praswad menjelaskan, di tahap placement, pelaku pencucian uang menyisipkan uang ke lembaga keuangan yang sah. Biasanya, dalam bentuk setoran tunai. Berikutnya, uang tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang legal dan tampak seolah-olah sah. ”Ini sering terjadi dalam kejahatan TPPU,” ujarnya, Jumat (15/12/2023).
Dalam konteks pemilu, uang haram hasil TPPU tersebut biasanya mengalir kepada para caleg atau kandidat dalam bentuk sumbangan. Praktik semacam itu umum dilakukan di tengah situasi minimnya sumber pendanaan yang sah untuk kebutuhan pemilu. ’’Di situasi seperti ini (pemilu, Red) para kandidat lengah untuk memilah dan menyeleksi sumber mana yang diperbolehkan dan yang tidak,” ujarnya.
Praswad menegaskan, aparat penegak hukum sudah bisa melakukan pengusutan dugaan TPPU. Apalagi, PPATK sudah menyebut bahwa transaksi mencurigakan itu diduga berasal dari praktik tambang ilegal. ”Kalau kejahatan pokoknya sudah diidentifikasi, caleg-caleg ini tentu bisa dikenakan pasal TPPU sebagai pihak yang menjadi penempatan uang kejahatan itu,” jelasnya. Selama bertugas di KPK, Praswad menyebut modus semacam itu memang kerap kali terjadi saat pemilu. Terutama jelang pencoblosan. Hanya, KPK baru bisa menangani kasus tersebut jika pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan TPPU berlatar belakang penyelenggara negara. Misalnya, legislator yang masih menjabat alias petahana.
”Kalau di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, praktik-praktik semacam ini betul-betul diusut, sekalipun si kandidat itu terpilih,” tutur mantan penyidik senior KPK tersebut. Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, selama ini rekening khusus dana kampanye (RKDK) terkesan hanya formalitas. Pada Pemilu 2019, Titi menyebut mayoritas dana kampanye partai politik bersumber dari caleg. ”Namun bukan berupa uang tunai, melainkan sumbangan in kind berupa alat peraga atau bahan kampanye,” tuturnya.
Titi menjelaskan, pengaturan dana kampanye di Indonesia secara sistemik dibuat untuk tidak mampu menjangkau akuntabilitas dan kebenaran dari penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Itu menyusul RKDK untuk pileg adalah berbasis partai. Sementara caleg tidak diatur untuk membuat RKDK. ”Mereka (caleg) melaporkan (dana kampanye) melalui partai politik yang laporannya lalu dikonsolidasi oleh partai,” jelasnya. Di sisi lain, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty meminta publik untuk bersabar terkait dengan laporan transaksi mencurigakan rekening para caleg sebagaimana laporan PPATK. Lolly menyebut pihaknya mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk mendalami laporan tersebut. ”Pekan depan Insya Allah kami akan sampaikan (perkembangannya, Red),” ujarnya kepada Jawa Pos.
Humas Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Natsir Konga mengatakan, analisis transaksi mencurigakan pada calon anggota legislatif terdaftar itu telah dilakukan. PPATK sudah menemukan sampel. Salah satunya transaksi yang masuk dari illegal mining atau pertambangan ilegal tak berizin.
Namun, PPATK enggan menyebut detail laporan itu. Hasil analisis PPATK, kata Natsir, hanya dapat disampaikan kepada penyidik. Dan saat ini, ribuan transaksi mencurigakan tersebut sudah disampaikan ke KPU dan Bawaslu. PPTAK telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi transaksi mencurigakan tersebut. Salah satunya membentuk tim kerja analisis kolaboratif. Pertukaran informasi di sektor publik dan privat bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan aparat penegak hukum. Natsir menambahkan, selain transaksi mencurigakan itu, PPATK juga bersiap melakukan pemantauan terkait potensi politik. Lewat transaksi e-wallet dan e-money. ’’Transformasi terkait praktis serangan fajar dengan teknologi ini perlu diwaspadai bersama,’’ paparnya. Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Wawan Wardiana mengatakan, KPK tidak bisa masuk dalam proses pengungkapan dan penanganan transaksi mencurigakan yang masuk ke DCT. Sebab, itu merupakan perorangan dan bukan bagian dari penyelenggara negara. ”Itu kewenangan KPU, Bawaslu, dan aparat penegak hukum yang tergabung dalam Gakkumdu,’’ paparnya.
Namun, KPK bisa masuk jika calon tersebut merupakan petahana. Artinya, mereka saat ini masih menjabat anggota legislatif yang digaji oleh negara lewat APBN maupun APBD. Jika ada indikasi transaksi mencurigakan dan melanggar hukum, KPK bisa turun tangan kalau diminta bantuan oleh KPU. Disinggung soal aliran duit untuk biaya kampanye kontestan pemilu, Wawan menyebut KPK telah melakukan beberapa kajian di beberapa pilkada sebelumnya. Studi KPK 2021 tentang benturan kepentingan pendanaan pilkada 2020 menunjukkan itu. Bahwa modal finansial berpengaruh hingga 95 persen untuk pemenangan calon. Sementara visi, misi, dan program kerja hanya berpengaruh sebesar 40,2 persen untuk pemenangan. (tyo/elo/c6/ttg/jpg)