SECANGKIR kopi mampu merekatkan keragaman. Banyak orang menemukan keakraban di antara segelas kopi yang ada di warung, angkringan, meja kantor, hingga kafe.
TAMAMU RONY, Sampit
Pekik suara burung walet meriuhkan suasana pada Minggu (18/2) pagi. Di atas jalan beraspal Pasar Berdikari Jalan Jenderal Ahmad Yani, Sampit, orang-orang berlalu-lalang. Mengunjungi toko-toko dan warung yang dinding kayunya kumal. Terkena hempasan debu dan asap dari tiap mesin kendaraanyang berdesing. Kian lama, kian banyak.
Ratusan pedagang berjibaku dalam rutinitas penawaran niaga. Anak-anak kecil bermain-main dengan kertas yang mereka lipat jadi miniatur pesawat.
”Dua cangkir kopi hitam kental tak pakai gula, tambah sedikit susu,” pesan pengunjung warung milik Pak Adul, siang itu.
”Saya kopi susu tambah gula merah sedikit. Ampasnya dibuang,” pinta pengunjung lainnya pada Bu Idah, istri Pak Adul.
Dua perempuan yang bekerja di warung berukuran kira-kira sepuluh kali delapan meter itu tak perlu waktu lama menghidangkan kopi pesanan dua orang tadi. Belum dua menit berlalu, beberapa cangkir sudah tersedia di hadapan pelanggan.
Delapan orang lainnya datang. Diikuti tiga remaja pengamen jalanan. Lantunan lagu bertajuk ’Pesawat Tempurku’ dan ’Bento’dari Iwan Fals yang mereka dendangkan, membisingkan suasana di warung yang sudah mulai ramai pengunjung. Sekaligus menyadarkan orang-orang akan situasi politik yang kian ”mencekik.”
Kata remaja pengamen itu, politik tak usah diladeni. Yang baik diikuti, yang buruk dikuliti. Toh, suatu saat nanti KPK yang berbicara. Paling-paling, yang tertangkap kalau tidak kabur ya pura-pura tidur.
Sontak saja, hal itu membuat puluhan orang yang mendengar celotehan mereka tertawa terbahak-bahak. Sebelum akhirnya kembali menikmati kopi mereka.
Sudah tiga puluh lima orang duduk di meja kayu yang disediakan Bu Idah. Di depan mereka, penuh jajanan tradisional. Orang-orang Sampit menyebutnya wadai, diambil dari bahasa Dayak.
Puluhan orang ada di warung, tak hanya satu suku, agama dan budaya. Ada Dayak, Banjar, Jawa, Bima, dan Madura. Apalagi soal budaya, jelas beda.
”Yang duduk di ujung dekat tembok sebelah selatan itu, bapak-bapak dari persekutuan doa di salah satu gereja Sampit. Orang-orang Nasrani. Kalau yang di depannya itu Budha dan Hindu Kaharingan. Sedangkan kami muslim. Saya tahu, soalnya sering ketemu di warung ini,” ujar Tri (43), salah seorang pengunjung, sembari menepuk-nepuk pundak beberapa teman yang ada di sampingnya.
Agaknya, Tri merupakan salah satu pelanggan setia warung Pak Adul. Sudah sekian lama ia rutin minum kopi dan hintalu tangah masak (telur setengah masak) di warung itu. Alasannya, kopi bisa membuat dirinya merasa nyaman ketika hendak memulai rutinitas.
Banyak cerita dari secangkir kopi yang ia temukan di beberapa situasi dan lokasi tertentu. Hal itulah yang juga dirasakan Tri ketika berada di warung Pak Adul pagi itu.
Kata Subandi, seorang pengunjung lainnya, kopi merupakan salah satu alat perekat. Pemersatu budaya. Juga sebagai pencipta situasi yang tak dapat diganggu dengan bermacam-macam persoalan kehidupan.
Meski tidak semua orang suka kopi, kata dia, tapi sejatinya itulah efek orang minum kopi. Secangkir kopi bahkan bisa mencairkan suasana yang tegang. Orang-orang merasa bisa mengutarakan pendapat ketika minum kopi.
”Kopi adalah salah satu alat pemersatu dan pembuat situasi. Di mana setiap orang bisa mendengar dan bercerita akan sesuatu. Di situlah ide muncul. Karena dapat mengundang orang, kopi bisa membuat situasi dari tak ada menjadi ada,” ujar dia.
Meski tak dapat dipungkiri bahwa rasa kopi sangat khas, namun barista (sebutan peracik kopi) yang ada di Sampit butuh proses panjang untuk mendapatkan secangkir kopi yang nikmat.
Mulai dari membeli dari pembudidaya, membayar pengolah pascapanen, hingga penyajian akhir, semuanya harus diperhatikan dengan baik. Tentunya dengan cara berbeda, tergantung jenis kopinya.
Rasa, aroma, kadar kafein hingga tingkat keasaman dalam kopi juga berbeda sesuai varietasnya. Jenis arabika disebut sebagai kopi paling diminati dibanding jenis lain, robusta, liberica, dan ekselsa. Selain karena aroma yang lebih harum, kadar cafeinnya juga cukup rendah, namun, harga jual arabica pun juga relatif mahal.
”Di Indonesia, kopi gayo Aceh, kopi Mandailing, dan kopi Bali adalah jenis arabica yang punya banyak penggemar. Sementara untuk jenis Robusta kopi luwak tentu juaranya. Omong-omong, cara menikmati kopi tak hanya asal seduh. Bahkan, di beberapa negara memiliki cara berbeda ketika menghidangkan cangkir berisi kopi. Ini bukan gaya-gayaan. Perbedaan tersebut mutlak sebuah tradisi,” kata Fahrudin, seorang barista asal Sampit, yang bekerja pada sebuah kafe di Palangka Raya.
Pria yang kerap dipanggil Aru itu menguraikan, jika kebanyakan orang di Indonesia menikmati santap pagi dengan secangkir kopi ditemani roti atau pisang goreng, maka di Italia orang-orang cenderung meminum kopi di coffee shop, mereka menyebut aktivitas ngopi santai ini dengan un caffe.
Saat dibincangi, Aru sedang menikmati kopi di warung pak Adul juga. Ia bersama pacarnya, Elista, warga Sampit juga. Rupanya, dua sejoli ini klop. Sama-sama pecinta kopi. Elista baru saja pulang dari negeri sakura, Jepang. Pekerjaannya sebagai TKI di negara itu.
Kata Elista, di Jepang, ada budaya di mana setiap tamu sibuk memaksa pecinta kopi untuk minum kopi itu dari vending machine. Alasannya, karena simpel dan cepat. Mereka juga terbiasa menikmati kopi sambil berjalan atau di dalam kereta.
”Di Jepang, setiap perilaku punya filosofinya sendiri-sendiri. Contohnya minum dari vending machine itu. Tujuannya agar hidup si tamu dimudahkan. Sesimpel prosesnya menuangkan secangkir kopi,” kisahnya.
Waktu menunjuk pukul 10:30 WIB. Konsumen warung Pak Adul datang dan pergi. Cangkir-cangkir kopi yang mereka tinggalkan menyisakan banyak cerita di balik setiap genggaman dan tegukan yang beberapa jam lalu dilakukan.
Setiap orang yang ada di sana punya cerita. Mulai politik, agama, budaya, suku dan perencanaan matang untuk memulai sebuah rutinitas yang menyibukkan. Apapun dibicarakan ketika ada secangkir kopi di hadapan.
Hingga pukul 11:00 WIB, warung Pak Adul tak jua sepi. Meski tak seramai paginya. Suara-suara walet yang sedari tadi menemani, masih tetap mendominasi. Mengalahkan teriakan tukang parkir yang mengatur beberapa kendaraan pengunjung.
”Andai saja kopi dapat berbicara, mungkin ia satu-satunya benda yang memiliki kecerdasan tingkat tinggi. Karena dari cangkirnya, ide setiap orang muncul,” kata Aru, sambil menaiki motor matiknya bersama Elista, dan pergi meninggalkan warung. (***)