Oleh Kusni Sulang
Patung dan atau relief naga, burung enggang dan belanga terdapat di semua tempat di pulau Borneo yang didominasi oleh budaya Dayak. Baik itu di Borneo Indonesia atau Kalimantan, mau pun di Sabah dan Sarawak. Kecuali tiga relief atau patung di atas, di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih ditambah dengan relief perisai (Bhs. Dayak Ngaju: talawang). Relief talawang digunakan secara merata: di kantor-kantor, di pasar, di rumah-rumah dan rupa-rupa bangunan, sebagai ciri kedayakan.
Naga (jata) melambangkan kekuasaan alam bawah; enggang (tingang) menyimbolkan kekuasaan alam atas; balanga menyiratkan makna kemakmuran atau kesejahteraan. Sedangkan perisai (talawang) melukiskan tradisi ‘mamut-ménténg (gagah-berani) salahsatu unsur dari manusia ideal dalam konsep Dayak ‘mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh, andal dia batimpal (gagah-berani, cerdik-beradat, urakan (berani melawan arus) dan tekun (sehingga menjadi) hebat iduptiada bertara.
Dalam hal ini perlu dicatat benar bahwa uréh (rajin, tekun, ulet), berbeda dari huréh (bercanda). Sedangkan maméh bebeda dari paléng (kurangajar).
Dalam filosofi Dayak, sebagaimana diungkapkan dalam sastra lisan seperti sansana kayau, anak manusia adalah réngan tingang nyanak jata (anak enggang,putera-puteri naga). Manusia datang ke bumi yang berkarakter chaos abadi ini dengan misi untuk menjadikan bumi (entah itu bernama léwu, kampung-halaman atau pun pétak-danum (tanahair) sebagai tempat hidup yang manusiawi bagi anak manusia. Inilah visi-misi hidup-mati anak manusia menurut konsep Dayak. Apabila gagal menunaikan visi-misi ini, ia tidak mempunyai jalan kembali ke léwu-liau (tempat seniscayanya setelah seseorang mati). Karena tidak mempunyai jalan kembali, maka ia dikutuk untuk bergentayangan dan mengganggu kehidupan, Posisi yang tidak mulia.
Dengan visi-misi hidup-mati yang demikian maka orang Dayak memandang diri mereka sebagai Utus Panarung (Turunan Pelaga). Dalam hal ini, saya membedakan antara warrior (jago tempur) dan panarung (fighter), Dalam konsep Dayak, Panarung bukan hanya berlaga secara fisik, tetapi bertarung dalam segala bidang dan berbagai cara untuk mengubah chaos menjadi bersifat manusiawi. Sedangkan warrior (jago tempur) lebih bersifat pertarungan fisik seperti konsep budaya anak kolong atau budaya tangsi yang sekarang disebut budaya bétang. Dalam cerita rakyat Dayak disebut pangkalima. Dan orang Dayak merasa diri semua sebagai pangkalima, Praktek warrior ini sampai sekarang berwujud hakayau kulae (saling potong kepala) terutama dalam bidang politik. Hal ini saya kira merupakan hasil dari pemahaman terpotong-potong (fragmentaris) terhadap sejarah budaya Dayak. Oleh pemahaman fragmentaris inilah maka perisai (talawang) di Kalteng diangkat sebagai lambang kedayakan. Lambang yang mengutamakan sifat warrior daripada fighter. Perisai adalah salah satu alat tempur seorang warrior di samping mandau, tombak dan sumpitan (sipet). Dan pertempuran tidak lain dari salah satu bentuk kekerasan. Karena itu penggunaan massif relief perisai sebagai lambang, tidak lain dari menyebarluaskan konsep kekerasan. Hal ini pula yang tersirat dengan pengangkatan budaya bétang yang tak lain dari budaya anak kolong atau budaya tangsi. Bétang sebagai bangunan vernakuler, tidak lain dari tangsi kelompok-kelompok Dayak pada masa kayau-mangayau. Pada masa sekarang, bétang itu bisa mengambil bentuk lain yaitu organisasi-organisasi entah itu Dayak atau pun non-Dayak Etnik-etnik yang ada di Kalteng hidup di bétang-bétang kekinian yang berkarakter ghetto dengan mengibarkan panji survival of the fittest. Sehingga dari segi budaya, Kalteng menjadi sebuah daerah yang mapan di atas kerusakan sertan berkembang dengan budaya anak kolong.
Berbeda dengan Kalteng adalah lambang utama di kalangan Dayak di Kalimantan Barat (Kalbar). Yang menonjol di Kalbar, demikian juga di Sarawak adalah konsep-konsep yang dilambangkan terutama oleh burung enggang. Sedangkan relief perisai tidak dominan.
Saya memahami keadaan ini sebagai pengutamaan visi-misi hidup-mati Dayak yang dilambangkan oleh burung enggang dan naga, juga tercermin dalam salam mereka: “adil ka’ talino, bacuramin ka’ saruga, basengat ka’ jubata” (adil terhadap sesama, hidup baik pada jalan kebenaran, taat kepada Tuhan yang maha kuasa). Sementara yang populer di kalangan Dayak Kalteng adalah lahap (pekikan perang).
Melalui riset terus-menerus sejak lebih dari tiga dasawarsa, Dayak Kalbar lebih mengenal diri dan peta keadaan, sedangkan Dayak Kalteng masih mencar-cari tapi pencarian tanpa penelitian sehingga mereka tidak mengenal apa-siapa diri mereka sesungguhnya. Kalau budaya Dayak itu pada dasarnya ssama baik di Sabah, Sarawak dan berbagai provinsi Kalimantan (Indonesia), lalu mengapa ada perbedaan pengutamaan demikian? Apabila mengikuti perkembangan sejarah kebudayaan baik di Kalteng mau pun di Kalbar, perbedaan pengutamaan ini nampaknya bermula dari peamahaman para elite masyarakat Dayak terutama dari kalangan mereka yang beruntung dapat kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Di Kalbar, sebelum melakukan kegiatan-kegiatan praktis lebih lanjut, para mereka yang mengenyam tinggi pertama-tama melakukan penenelitian untuk mengenal keadaan dan diri sendiri. Atas dasar hasil penelitian itu, mereka kemudian merinci kegiatan-kegiatan untuk menjawab keadaan. Melalui penelitian yang sampai sekarang sudah berlangsung 35 tahun lebih dengan Institut Dayakologi (ID),sebelumnya bernama Institut Dayakology for Research and Development, sebagai motor penggerak kegiatan. Kegiatan ini sekali pun berdampak politik, ekonomi, budaya dan pendidikan, tapi ia berstatus independen, tidak menjadi kendaraan kepentingan politik penyelenggara Negara dan tidak tergantung pada penyelenggara Negara. Berbeda halnya dengan Majelis Adat Dayak Nasional dan lembaga-lembaga kelengkapannya yang berdiri pada tahun 2000-an. Departemen-departemennya memang menyeluruh tapi tak ada satu p0un yang berfungsi. Pengurusnya mayoritas adalah pegawai negeri sipil. Penelitian sejarah dan budaya sangat minim dilakukan oleh orang Dayak Kalteng. Kalau konsep-konsep di ibdikalangan Dayak Kalbar diangkat melalui penelitian lama dan terus-menerus, di Kalteng hal ini tidak dilakukan. Sehingga konsep-konsep yang sekarang populer seperti budaya bétang, penafsiran tentang Pertemuan Tumbang Anoi 1894, diangkat berdasarkan pemahaman individual dan syarat dengan kepentingan politik dengan dominasi pendekatan kekuasaan, bukan filosofis atau kebudayaan.
Apabila pemahaman saya benar, kenyataan di atas mengatakan bahwa Dayak Kalbar memilih jalan panarung (fighter) sedangkan Dayak Kalteng mengangkat panji jago tempur (pangkalima). Dayak Kalbar bertarung lebih konsepsional, sedangkan Dayak Kalteng mengambil alur warrior yang jasmaniah (physical) dengan pendekatan kekerasan dan kekuasaan.
Dua jalan berlainan ini memberikan hasil yang berbeda pula. Membaca keadaan demikian saya melihat Dayak Kalteng belum bangkit, tidak mengenal dirinya bahkan ada tendensi bunuh diri budaya secara kolektif. . Kalau disebut telah bangkit, yang terjadi tidak lain dari ilusi subyektif yang tak akan perrnah menggantikan kenyataan. Yang selalu saya dengar adalah rataptangis dan keluhkesah keterpurukan (kapéhé). Sudahkah mereka bangkit? Belum! Barangkali bangun (misik), apalagi bangkit (hingkat). Berapa lama lagi dan kapan? Ia berlangsung saat pola pikir dan mentalitas telah berobah, ketika roh panarung diresapi untuk menjadi Dayak Bermutu atau Minoritas Kreatif.
Karena masyarakat Dayak Kalteng sekarang pada dasarnya masih berkarakter patron-client, tanah subur untuk tumbuhnya kultus individu, boleh jadi pertanyaan ini kembali kepadapara elit Dayak dan para mereka yang berpendidikan tinggi, terutama yang intelektual (tidak semua yang bergelar akademi adalah cendekiawan! Kalteng sangat miskin dengan cendekiawan, yang banyak adalah ‘tukang’ dan pemegang ‘sarjana kertas’).Niscayanya mereka mengambil peran dengan titik tolak utama memberdayakan dan membangun Kalteng. Peran ini hanya berfungsi apabila ada kesadaran demokratis. mencari kebenaran dari kenyataan dan menyediakan tempat luas bagi kebenaran pihak lain. Geng-isme, bentuk dari pendekatan kekuasaan dan kekerasan, tidak menguntungkan untuk suatu debat akademi. Membawa geng-isme dalam debat akademi tidak akan memberikan hasil apa-apa yang positif untuk pemberdayaan dan pembangunan, apalagi ‘manggatang utus’. Artinya Dayak Kalteng seniscayanya mengenal diri sendiri, dan mengobah pola pikir dan mentalitasnya agar mayoritas Dayak Kalteng tidak menjadi embel-embel di kampung kelahiran sendiri seperti sekarang, berprakarsa dan mandiri – wujud dari sikap dewasa. Hal ini te4cermin dari symbol yang dipilih dan dominan. Pada simbol terkandung konsep.