Sidang perdata gugatan petani sawit Seruyan M Abdul Fatah kepada Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya sampai pada tahapan kesimpulan. Ada beberapa poin yang ditekankan penggugat melalui kuasa hukumnya Rendra Ardiansyah.
Menurut Rendra, setelah mempelajari dan mengamati jawaban, replik, duplik, serta bukti dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan, dalil yang disampaikan penggugat telah terbukti. Dalil gugatan penggugat diperkuat keterangan saksi yang mengetahui maupun alat bukti surat yang diajukan penggugat.
”Sebagaimana dalil penggugat, bahwa tergugat mengklaim lahan milik penggugat sebagai kawasan hutan adalah perbuatan melawan hukum. Tergugat mendasari argumennya pada hasil overlap titik koordinat dari peta lampiran Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor:759/KPTS-UM/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalteng,” kata Rendra.
Selain itu, lanjutnya, tergugat telah salah melakukan tindakan yang didasari Surat Keputusan Menhut Nomor: 529/Menhut-II/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Pertanian Nomor:759/KPTS-UM/10/1982 tentang Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45/PUU-IX/2011, Frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Menurut Mahkamah, ketentuan tersebut antara lain memperhatikan kemungkinan adanya hak perseorangan atau hak pertuanan (ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut.
”Dengan demikian, jika terjadi keadaan seperti itu, maka penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain,” jelasnya.
Dalam pertimbangan hukum pada putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 poin (3.13) menyatakan, aparatur negara atau pejabat administrasi negara tidak boleh menggunakan penunjukan kawasan hutan menjadi dasar hukum untuk melakukan tindakan hukum sebelum adanya penetapan kawasan hutan. Pasalnya, hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, bahwa kawasan hutan akan mempunyai kepastian hukum setelah dilakukan proses pengukuhan kawasan hutan.
Selanjutnya, dalam proses pengukuhan kawasan hutan, Mahkamah Konstitusi mengharuskan melihat kondisi faktual di lapangan terkait kemungkinan adanya hak perseorangan atau hak ulayat pada kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut. Jika terjadi keadan seperti itu, penataan batas dan pemetaan batas kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan agar tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
Berdasarkan pemeriksaan setempat, dapat dilihat lahan milik penggugat berbatasan langsung dengan lahan masyarakat Desa Ayawan yang hadir saat pemeriksaan. Selain itu, bisa dilihat secara kasat mata, batas atau lahan sekitar milik penggugat merupakan perkebunan milik masyarakat desa berupa kebun sawit.
”Selama persidangan, penggugat mampu membuktikan dalil gugatan tentang perbuatan melawan hukum. Melalui bukti surat dan saksi yang dihadirkan penggugat dalam persidangan, juga berdasarkan fakta persidangan setempat yang jelas dan nyata lahan milik penggugat bukan kawasan hutan,” tegasnya.
Berdasarkan fakta persidangan, tambahnya, tergugat terbukti memenuhi perbuatan melawan hukum sesuai Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menimbulkan kerugian bagi penggugat. Abdul Fatah meminta gugatannya dikabulkan majelis hakim. (ang/ign)