Perseteruan sengit antara bos miras pemilik Toko Cawan Mas dengan Wakil Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) di Jalan Tjilik Riwut pada Rabu 16 Juni lalu berujung di sidang perdamaian adat. Johny mengakui kesalahan, dan siap menerima tuntutan majelis hakim adat. Dia juga akan meminta maaf kepada Wakil Bupati Kotim Irawati.
Dalam sidang perdamaian adat dayak yang membahas perkara kasus pelecehan yang dilakukan Johny Winata terhadap Wakil Bupati Kotim berlangsung pada Sabtu (2/10). Sidang dibuka sekitar pukul 11.OO WIB dan berakhir sekitar pukul 13.30 WIB.
Pelaksana harian (Plh) Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim Untung mengatakan, kasus ini mencuat setelah adanya laporan dari Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad) Kotim, tokoh masyarakat Kotim, dan tokoh masyarakat Samuda. Mereka menyampaikan keberatan atas tindakan tidak beradat yang dilakukan Johny Winata (terlapor) terhadap Wabup Kotim sehingga atas tindakannya tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat.
Atas laporan yang ditujukan ke DAD, pengurus DAD Kotim kemudian membentuk dan menetapkan Majelis Hakim Kerapatan Mantir Basara Hai/Let Perdamaian Adat Dayak Kotim yang tercantum dalam SK Nomor 0.1.16-SIDANG PERDAMAIAN ADAT/DAD-KOTIM/KPTS/IX/2021 tanggal 15 September 2021.
Dalam SK ditetapkan lima Majelis Hakim yakni Wawan Embang selaku Damang Kepala Adat Kecamatan Sebangau sebagai Ketua Hakim, dan empat lainnya yang ditunjuk sebagai anggota Hakim yakni Damang Kepala Adat Mentaya Hilir Selatan Ahmad Taufik, Damang Kepala Adat Kecamatan Seranau Dedy Irama, Pj Damang Kepala Adat Kecamatan Teluk Sampit Sabri, dan Pj Damang Kepala Adat Kecamatan Kotabesi Bambang Hermanto. Sementara Saparudin bertindak sebagai pencatat sidang. Sedangkan, pandawa (penuntut) ditetapkan tiga orang yakni Firdaus Herman Ranggan sebagai Ketua Pandawa dan dua anggota Abdul Kadir dan Nitro Abditya.
Tiga hari setelah kejadian malam itu, tepatnya Sabtu (19/6), pihaknya melakukan investigasi lapangan dan menyatakan benar telah terjadi pelanggaran oleh Johny terhadap Wabup Kotim saat melakukan razia di Toko Cawan Mas yang diketahui tak berizin.
“Tim Kerapatan Perdamaian Adat Dayak sudah melakukan mediasi sebanyak dua kali, di tanggal 6 dan 9 September 2021 yang dihadiri pelapor dan terlapor, namun belum mencapai kesepakatan. Mediasi ketiga tanggal 14 September 2021 baru mencapai titik kesepakatan yang dihadiri oleh pelapor dan terlapor untuk melaksanakan Sidang Perdamaian Adat Dayak pada 2 Oktober 2021,” kata Untung.
Untung menjelaskan dalam penyelesaian perkara kasus di DAD, ada tiga hal yang dilakukan, yakni negoisasi kepada kedua belah pihak, mediasi, dan persidangan adat.
“Persidangan adat itu ada dua, sidang adat dan sidang perdamaian adat. Dari pihak pelapor sepakat untuk melaksanakan sidang perdamaian adat. Saya bersyukur pelapor dan terlapor punya kesepakatan yang sama sehingga masalah ini bisa selesai,” katanya.
Untung mengatakan, terlapor menyadari kesalahan atas perbuatan yang dilakukan kepada Wabup Kotim tiga bulan lalu. ”Pak Johny sudah menyadari kesalahannya sampai menangis menyatakan pengakuan bersalah,” ungkapnya.
Sementara itu dari pihak pelapor yang diwakili oleh Mahfud menyatakan bahwa persoalan kasus ini bukan merujuk pada besar kecilnya nilai uang yang harus dibayarkan. Tetapi, nilai kepatuhan dari adat dan itikad baik dari terlapor.
”Sidang ini tidak mengukur dari besar kecilnya nilai uang yang harus dibayarkan sebagai sanksi hukuman kepada terlapor. Barangkali masyarakat di luar sana tidak mengetahui dan ada yang berstatement tidak ada konfirmasi sehingga ada berita yang tidak nyaman, padahal DAD membuka diri terkait persoalan kasus ini,” ujarnya.
Dirinya pun menetapkan Majelis Hakim yang dianggap cakap dalam menyelesaikan perkara kasus.
”Saya ingin ada keputusan yang adil dan sidang ini terbuka untuk umum. Di sini juga ada Wakapolres Kotim beserta jajarannya, saya jelaskan sidang ini semata untuk membahas dan menyelesaikan pelanggaran adat dan tidak menyangkut ataupun menyinggung terkait pidana,” tegas Untung saat ditemui Radar Sampit di ruang sidang lantai II Kantor DAD Kotim.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Pandawa (Penuntut) Firdaus Herman Ranggan menyampaikan tuntutannya dimana perbuatan terlapor dikenakan Pasal 13 singer sala basa dengan oloh beken (denda salah tingkah dengan orang lain), Yo Pasal 96 kasukup singer belum bahadat (kelengkapan denda adat hidup kesopanan, beretika dan bermoral tinggi) sesuai hukum adat Dayak hasil kerapatan adat di Tumbang Anoi 1894 dimana pasal pelanggaran dimaksud.
Sesuai Pasal 13 dalam kasusnya perbuatan dan tingkah lakunya terhadap seseorang atau orang lain yang telah memberi malu, merusak nama baik, mengancam, oleh seseorang terhadap orang lain pria atau wanita atau terhadap barang kepunyaan orang lain dikenakan sanksi ancaman hukum sala basa sebesar 15-30 kati ramu.
Terlapor juga dikenakan Pasal 96 yang dijelaskan dalam ungkapan belum bahadat yang diartikan sebagai ungkapan yang lebih dominan bagi orang suku Dayak. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini merupakan kunci positif nilai kepribadian tradisional warisan asli daerah warisan turun temurun yang meliputi ruang lingkup perikehidupan arti kemanuasian dalam arti fisik, mental, dan spritual.
Dalam uraian tersebut, Pandawa mengambil beberapa pertimbangan yang meringankan terlapor. Pandawa menuntut agar majelis sidang perdamaian adat DAD memeriksa dan mengadili pelanggaran adat oleh melanggar pasal hukum adat sanksi adat Pasal 13 sebesar 30 kati ramu dan sanksi adat Pasal 96 sebesar 1500 kati ramu. Sehingga total 1.530 kati ramu. Untuk diketahui, satu kati ramu jika dalam nominal uang ditetapkan sebesar Rp 250 ribu.
“Pandawa memohon kepada Majelis Karapatan Mantir Basara Hai untuk memutuskan singer adat dayak terhadap pelanggar yakni dengan memberikan singer denda adat sesuai Pasal 13 sebesar 30 kati ramu, menangung biaya upacara perdamaian adat sebesar 100 kati ramu, membayar denda adat Pasal 96 sebagai tanggung jawab etika, moral kesopanan, dengan membayar 1500 kati ramu, meminta terlapor Johny meminta maaf kepada Wabup Kotim baik secara langsung maupun meminta maaf lewat media dan tunduk pada Perda Nomor 13 Tahun 2017 tentang Pengawasan Minuman Beralkohol di Kotim,” kata Firdaus dalam tuntutannya.
Lebih lanjut, Wawan Embang menyampaikan hasil putusan Majelis Hakim Kerapatan Mantir Basara Hai dan Let Perdamaian Adat Dayak Kotim Nomor 283/MHKMBH-KOTIM/PTS/IX/2021 tentang perkara perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan Johny Winata selaku pengusaha miras Toko Cawan Mas terhadap Wabup Kotim.
Dari hasil pernyataan pelapor menyatakan benar telah terjadi pertengkaran yang kurang pantas antara tim razia yang dipimpin Wabup dengan Johny sehingga membuat ketidaknyamanan terutama terhadap Batamad dan unsur elemen masyarakat Kotim karena dianggap telah melecehkan Wabup.
Sementara itu, Johny dalam keterangan pembelaannya menjelaskan bahwa pada saat raiza merasa keberatan dengan tindakan yang dilakukan tim razia karena sudah mengobrak abrik tempatnya.
“Saya akui saya bersalah karena sudah berbuat kurang sopan terhadap tim razia pada saat itu dan saya mengakui bersalah atas perbuatan pelanggaran adat dan saya tidak keberatan diberikan sanksi adat berdasarkan hukum adat Dayak sebagai wujud belum bahadat dalam budaya huma betang,” kata Johny dalam pernyataannya. “Saya sepakat untuk menyelesaikan perkara ini menurut hukum adat Dayak yang berlaku dan saya sepakat meminta maaf kepada semua yang terlibat, terutama kepada Wabup,” lanjutan pernyataan Johny dalam hasil putusan.
Ketua Majelis Hakim kembali mempertanyakan apakah terlapor menerima hasil keputusan Majelis Hakim. Johny menjawab, “Saya menerima putusan yang telah ditetapkan,” ucap Johny disaksikan oleh peserta sidang saat itu.
Lebih lanjut, Wawan menyampaikan ada beberapa hal yang meringankan terlapor, yakni pada pertemuan mediasi terlapor hadir dengan kesadaran sendiri dan mengakui bersalah atas perbuatan pelanggaran adat dan tidak keberatan diberikan sanksi adat berdasarkan hukum adat Dayak sebagai wujud belum bahadat dalam budaya huma betang.
“Saudara Johny proaktif dan kooperatif dalam menyelesaikan permasalahan pelanggaran adat ini sehingga tidak menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat di Kotim dan masyarakat adat Dayak sehingga menjadi faktor meringankan bagi terlapor. Sehingga, sanksi kati ramu dapat diturunkan dari 1.530 kati ramu menjadi 600 kati ramu,” katanya.
Dalam amar putusan Ketua Majelis Hakim menyampaikan delapan poin yakni menyatakan permohonan pelapor dapat diterima, menyatakan bahwa tindakan yang sudah dilakukan terlapor kurang beradat dan terkesan melecehkan pejabat daerah, penjual miras wajib tunduk dan patuh terhadap Perda Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pengawasan Minuman Beralkohol di Kotim, menghukum terlapor untuk melakukan permohonan maaf kepada Wabup secara lisan maupun permohonan maaf melalui mediasi secara berturut-turut selama satu minggu.
Dalam amar putusan poin lima disebutkan bahwa atas kesalahan yang sudah dilakukan, terlapor dikenakan sanksi hukuman singer sala basa sebesar 30 kati ramu sesuai sesuai Pasal 13, dan 570 kati ramu sesuai Pasal 96, sehingga total sanksi hukuman sala basa ditetapkan 600 kati ramu atau sebesar Rp 150 juta.
”Memerintahkan agar terlapor melaksanakan putusan 14 hari terhitung tanggal peneriman salinan hasil putusan, menyatakan putusan final dan mengikat. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan terlapor tidak ada niat baik untuk menyelesaikan dan melaksanakan putusan ini akan dikenakan sanksi sesuai dengan hukum adat Dayak yang berlaku,” ucap Wawan Embang, Ketua Majelis Hakim dalam amar putusan.
Diwawancarai lebih lanjut, Johny menyatakan kesiapannya untuk membayar sanksi hukuman sebesar Rp 150 juta dan akan meminta maaf kepada Wabup Kotim.
“Siap saja nanti dibayar dicicil. Permintaan maaf nanti kita atur tempatnya, saling komunikasi saja waktu dan tempatnya,” pungkas Johny kepada Radar Sampit.
Sementara itu, Mahfud selaku perwakilan dari pelapor menegaskan bahwa persoalan perkara kasus tersebut diketahui bukan diukur pada nilai sanksi hukuman yang ditujukan kepada terlapor. Namun, lebih kepada mencari niat baik dari terlapor untuk mengajukan permohonan maaf atas tindakan yang secara tidak langsung melecehkan pejabat daerah. Apabila terlapor membayar sesuai waktu yang telah ditetapkan, uang tersebut akan digunakan untuk kemaslahan masyarakat, salah satunya untuk membantu beban kehidupan warga Kotim yang belum lama ini terdampak banjir.
“Kami tidak berbicara soal nilai. Ini lebih kepada menuntut terlapor untuk menyampaikan itikad baik untuk memohon maaf kepada Wabup atas tindakan yang sudah dilakukan. Ditanya sepakat atau tidaknya atas hasil putusan ini, kami nyatakan sepakat, karena dalam mediasi sebelumnya kami sudah mengajukan keberatan sampai akhirnya menemukan kesepakatan sesuai yang disampaikan Majelis Hakim dalam hasil putusannya,” pungkasnya. (hgn/yit)