Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah, Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), dan Yayasan BOS, kembali melepasliarkan delapan orang utan hasil rehabilitasi kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Pelepasliaran menggunakan protokol kesehatan khusus disertai tes Covid-19, termasuk terhadap orang utan.
Delapan orang utan dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng itu terdiri dari empat jantan dan empat betina. Pelepasliaran di akhir tahun ini merupakan yang ke-23 kalinya di TNBBBR wilayah Kalimantan Tengah sejak Agustus 2016, dan ke-38 secara total di Kalteng sejak 2012. Masing-masing orang utan itu diberi nama, yakni Ating, Lido,Miko, Mony, Petto, Pickle, Sembara, dan Suci.
Miko diselamatkan di Desa Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau. Saat diselamatkan, orang utan jantan ini masih berusia 3 bulan dengan bobot 2,5 kilogram. Selepas masa karantina, Miko mengikuti sekolah hutan untuk mengasah keterampilan dan kemampuan.
Miko dikenal memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Meski bukan sosok dominan, Miko mampu membela diri saat diperlukan. Saat ini Miko berumur 11 tahun dengan bobot 30,7 kilogram setelah menjalani proses rehabilitasi selama 10 tahun di Nyaru Menteng.
Lalu, Suci diselamatkan di Kasongan, Kabupaten Katingan. Orang utan betina ini berusia setahun dengan bobot 5,5 kilogram. Dikenal sebagai penjelajah yang suka menyendiri. Saat ini Suci berumur 6 tahun dengan berat badan 26,3 kg.
Pickle berbobot 2,2 kilogram dan ditemukan sendirian tanpa induk. Berkat keterampilan yang baik, orang utan yang gemar menjelajah sendirian ini mampu menuntaskan semua tahapan rehabilitasi dan membuktikan diri siap kembali ke hutan. Pickle kini berusia 14 tahun dan beratnya 40 kilogram dengan 13 tahun masa rehabilitasi.
Selanjutnya, Lido diselamatkan dari sebuah perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur. Saat diselamatkan, orang utan betina ini dalam kondisi fisik memprihatinkan tanpa induk. Ketika itu masih berusia sebulan dengan berat badan 1,3 kilogram. Lido dikenal waspada, namun tak terlalu memedulikan manusia. Umurnya sekarang 15 tahun dengan bobot 33,3 kilogram dan masa rehabilitasi 15 tahun.
Kemudian, Sembara diselamatkan tim gabungan Wildlife Rescue BKSDA di Palangka Raya. Orang utan jantan ini tiba di Nyaru Menteng saat berusia 2,5 tahun dengan berat 3 kilogram. Dikenal mudah terganggu dengan kehadiran manusia dan pandai menanggapi situasi di sekitarnya. Kini berusia 13 tahun dengan berat badan 36,6 kilogram dan menjalani 10 tahun masa rehabilitasi.
Orang utan berikutnya, Ating, sempat dipelihara sepekan oleh karyawan perkebunan kelapa sawit di Kotim. Ating tiba di Nyaru Menteng pada 16 November 2006 saat berusia 2 tahun dengan berat 3,5 kilogram. Ating biasanya mengabaikan manusia dan cenderung menyendiri. Lebih menyukai menjelajah hutan tanpa teman. Kini Ating telah berusia 17 tahun dengan berat badan 47,6 kilogram setelah melewati proses rehabilitasi selama 15 tahun.
Petto diselamatkan dari Desa Henda, Kabupaten Pulang Pisau, saat berusia 2,5 tahun dengan berat 2,5 kilogram. Saat itu kondisi fisiknya memprihatinkan, dengan satu luka sayat di perut memanjang hingga dada dan di lengan kiri atas, sehingga memerlukan jahitan dan perawatan intensif.
Petto bukanlah orang utan yang agresif dan biasanya tak memedulikan manusia. Dia juga pandai menjelajah dan mudah bergaul dengan orang utan lain. Kini Petto telah berusia 16 tahun dengan berat badan 54,2 kilogram dan 13 tahun rehabilitasi.
Terakhir, Mony diselamatkan di Kota Palangka Raya saat masih berusia 18 bulan. Dikenal sebagai orang utan yang pandai membaca situasi dan mampu membela diri saat diperlukan. Di pulau, Mony melahirkan anak jantan pada 31 Juli 2021. Namun, dia gagal menjadi induk orang utan, karena setelah beberapa bulan, anaknya tak bisa ditemukan. Kini Mony telah berusia 15 tahun dengan berat badan 28 kilogram dan masa rehabilitasi 14 tahun.
Kepala BKSDA Kalteng Nur Patria Kurniawan mengatakan, salah satu upaya pelestarian keanekaragaman hayati adalah pelepasliaran satwa, khususnya orang utan hasil rehabilitasi ke habitat aslinya. Pelepasliaran merupakan salah satu tahap dalam proses panjang yang mencakup penyelamatan satwa, dilanjutkan rehabilitasi, pelepasliaran, dan pemantauan teratur untuk memastikan satwa dapat hidup dan berkembang biak di habitatnya.
”Pemerintah berkomitmen melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia melalui upaya konservasi yang sistematis. Semoga satwa itu bisa hidup dan berkembang biak di habitatnya. Rentang masa rehabilitasi mereka berkisar dari 5 sampai 15 tahun, yang membuktikan bahwa proses rehabilitasi itu bisa berlangsung cukup lama,” jelasnya.
Kepala Balai TNBBBR Agung Nugroho mengatakan, pihaknya telah melepasliarkan 185 orang utan sejak 2016. Total orang utan yang dilepasliarkan di seluruh kawasan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya yang berada di Kalteng dan Kalbar sebanyak 241 individu dan termonitor kelahiran baru di alam sebanyak lima individu.
Perjalanan orang utan menuju titik pelepasliaran di DAS Hiran cukup panjang dan menantang. Melalui jalur darat dan jalur sungai yang memakan waktu sekitar 15-20 jam, termasuk istirahat.
”Pemantauan pascapelepasliaran akan dilakukan secara intensif selama dua bulan oleh tim khusus di taman nasional untuk memastikan orang utan yang baru dilepasliarkan beradaptasi dengan baik di habitat barunya,” katanya.
Ketua Pengurus Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, keberhasilan pelepasliaran tidak lepas dari peran serta berbagai pihak. ”Saya juga sampaikan berterima kasih kepada pemerintah dan masyarakat atas dukungan dan kerja samanya,” tandasnya. (daq/ign)