Mantan calon anggota legislatif dari Partai Nasdem, Debi Aryati alias Debby Handoko, harus menjalani proses hukum. Dia disidang di Pengadilan Negeri Sampit dengan agenda mendengarkan keterangan saksi korban Hamzah dalam kasus penipuan dan pemalsuan surat tanah. Dalam kesaksiannya, korban menyebut tidak pernah menjual dua bidang tanahnya kepada siapa pun, baik itu memerintahkan terdakwa Debi menjualnya. Dia hanya meminjamkan salah satu bidang tanahnya kepada terdakwa untuk usaha pembangunan bengkel.
Di hadapan hakim, jaksa, dan terdakwa serta kuasa hukumnya, korban menyebut tanah itu jadi miliknya setelah menbeli dengan legalitas berupa dua sertifikat dengan harga Rp 15 juta. Kemudian korban meninggalkan Parenggean, pulang ke Jember, Jawa Timur. Selanjutnya, pada 2011 terdakwa bersama ibunya mendatangi korban di Jember, memberitahukan niatnya untuk membeli tanah korban. Korban saat itu menyatakan tidak menjual tanah itu. ”Katanya mau beli satu kapling buat bangun bengkel,” kata korban. Setelah berunding dengan istrinya, korban meminjamkan tanah kepada terdakwa untuk dibangun bengkel. Peminjaman itu dilakukan melalui surat perjanjian. ”Ada surat pernyataan pinjam. Saya dan istri memberi izin untuk ukuran tanah 25×50 meter,” ucap korban. Surat perjanjian dibuat antara korban dan istrinya dengan Handoko, suami Debi. Namun demikian, surat perjanjian itu tidak ditanda tangani Handoko, karena saat itu dia tidak ikut bersama terdakwa.
”Katanya saya bawa dulu surat perjanjian itu. Tapi, sampai saat ini tidak ditandatangani. Perjanjian itu yang membuat terdakwa sendiri,” ucap korban. Dalam perjanjian itu, korban disebutkan tidak memungut sewa apa pun selama lima tahun. Setelah itu perhitungan akan dilakukan sesuai harga kesepakatan saat itu. Setelah lima tahun berjalan, korban diminta membawa sertifikat salah satu tanahnya lagi.
Korban bingung karena surat yang diminta bukan surat tanah yang kini dipinjam untuk bengkel. Korban akhirnya menyerahkan surat tanah tersebut, karena tanah itu disebut bermasalah dengan pihak pengurus masjid. Korban mengaku keberatan atas klaim itu, hingga akhirnya menyerahkan surat tanah asli dan memberikan surat kuasa kepada terdakwa untuk mengurusnya. ”Saya keberatan dan saya beri surat kuasa dan surat tanah asli itu kepada terdakwa. Surat kuasa untuk pengurusan bukan menjual,” tegasnya. Setelah beberapa waktu, korban meminta agar surat miliknya dikembalikan.
Namun, terdakwa bersikukuh ingin meminjam surat tanah tersebut. Dia ingin membeli tanah itu, namun pembayarannya akan diagunkan ke bank. Uang yang didapat akan diserahkan kepada korban, sementara cicilannya akan dibayar terdakwa. Tidak hanya itu, di areal tanah itu terdakwa juga membangun kafe tanpa meminta izin pada korban. ”Katanya, kalau tanah yang ada di bengkel tidak bisa diagunkan di bank. Yang bisa di kafe itu,” ujar Hamzah.Sementara itu, dalam dakwaan JPU terungkap, perbuatan warga Kelurahan Parenggean tersebut dilakukannya dari 2013 – 2019. Adapun modus terdakwa dengan berpura-pura membeli tanah korban. Setelah sertifikat diserahkan, terdakwa tak membayarnya. Selain itu, agar dapat menjual tanah itu, terdakwa memalsukan surat kuasa yang mengakibatkan korban mengalami kerugian Rp 1 miliar. (ang/ign)