Bagi eks tenaga kontrak yang berdomisili di Kota Sampit, tak memerlukan waktu lama untuk menuju lokasi tes di Stadion 29 November Sampit. Namun, mereka yang dari pedalaman, harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan biaya besar.
HENY, Sampit
Minggu (24/7) pagi itu, Reni Lindawati bersama Juling bertolak dari Kecamatan Telaga Antang menuju Sampit. Keduanya merupakan guru kontrak yang tidak lulus tes seleksi tahap pertama 23 Juni lalu. Sama-sama lama mengabdi di SDN 1 Rantau Sawang.
Sejak 2008 hingga sekarang, mereka betah bertugas mengajar muridnya dengan fasilitas seadanya. Berbagi tugas masing-masing memegang tiga kelas. Karena, hanya mereka berdualah guru kontrak yang sanggup mengajar di sekolah terpencil tersebut. Adapun Juling sendiri menjabat sebagai kepala sekolah.
Meski sebelumnya nama mereka dinyatakan tidak lulus seleksi tahap pertama, Reni dan Juling tetap mengajar anak muridnya yang berjumlah 47 orang saat mulai tahun ajaran baru 2022/2023 yang dimulai pada 11 Juli 2022. Padahal, nasib mereka tak jelas setelah dinyatakan gagal dalam seleksi.
”Kalau mengikuti kata hati, rasanya sakit hati tak ingin lagi mengajar. Saya sudah menjadi guru belasan tahun. Dinyatakan tidak lulus saat tes evaluasi tahap pertama 23 Juni 2022 lalu. Melihat murid-murid saya tidak ada yang mengajari, saya tidak sampai hati ingin berhenti mengajar. Saya kasihan, murid kami perlu belajar dan dididik supaya jadi anak yang pintar meskipun bersekolah di pedalaman,” ujarnya.
Keputusan Pemkab Kotim kembali menggelar tes bagi tenaga kontrak yang gagal seleksi tahap pertama, memberikan keduanya harapan baru. Reni dan Juling berangkat dengan semangat untuk pengabdian.
Perjalanan ditempuh menggunakan perahu. Meski ada alternatif jalur darat, mereka tak berani, karena jalannya terlalu berisiko. Hujan yang kerap mengguyur beberapa hari sebelumnya, membuat jalanan hancur, licin, dan becek.
Keduanya patungan mengumpulkan uang Rp 450 ribu untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) menggerakkan perahu. Motoris perahu yang juga kerabat mereka, hanya meminta keduanya mengganti biaya BBM. Padahal, biaya carter perjalanan menggunakan perahu bisa menghabiskan uang sekitar Rp 2 juta pulang-pergi.
Setelah menempuh perjalanan mengarungi sungai, mereka berhenti di Desa Tumbang Puan. Keduanya melanjutkan perjalanan darat menggunakan travel.
”Sopirnya minimal minta lima orang carter Rp 1 juta sampai Sampit. Hari itu tidak ada yang berangkat, kecuali kami berdua. Mau tidak mau masing-masing kami bayar Rp 500 ribu. Padahal, kalau penumpang penuh, kami hanya dimintai Rp 250 ribu. Tarifnya jadi dua kali lipat. Malam baru sampai Sampit,” ujar Reni.
Reni berharap Pemkab Kotim dapat memperhatikan nasib tenaga kontrak guru yang memang asli putri daerah dan siap mengabdikan diri di pedalaman.
”Kami pasrahkan semua kepada Tuhan. Saya hanya berharap pejabat pemerintah memiliki hati nurani memperhatikan nasib tekon guru yang sudah mengabdi belasan tahun dan mempercayakan kami lagi untuk kembali mengajar. Semoga para guru diberikan keselamatan dan kemudahan mengikuti tes. Kalau evaluasi tahap dua ini saya tidak lulus, ya sudah. Saya minggat mencari pekerjaan lain. Terpaksa meninggalkan murid kami yang tidak tahu akan diajari siapa,” ujarnya.
Perjuangan mengikuti tes evaluasi tahap II juga dialami Jumiati, tekon guru SDN 1 Bukit Makmur, Kecamatan Tualan Hulu. Demi mengirit biaya, dia berangkat mengendarai motor seorang diri dengan waktu tempuh enam jam.
”Perjalanan yang cukup melelahkan. Berangkat jam 11 siang, sampai jam 5 sore. Besok paginya (hari ini) lanjut ikut tes lagi,” ujar Jumiati yang menjadi tenaga kontrak guru sejak tahun 2016 ini.
Jumiati tak memiliki keluarga. Setibanya di Sampit, dia mencari penginapan yang murah. Itu pun biayanya sudah menghabiskan Rp 1 juta. ”Beli bensin, sewa hotel, makan, ya habisnya Rp 1 juta. Kalau bawa keluarga bisa lebih dari itu. Makanya saya memilih berangkat sendiri naik motor supaya irit. Karena sudah tidak bekerja, siapa yang menggaji? Kalau tidak berhemat, anak di rumah tidak bisa makan,” katanya.
Jumiati juga memilih tetap mengajar meskipun namanya dinyatakan tidak lulus tes tahap pertama. ”Kasihan murid saya. Ada seratusan orang. Guru PNS ada dua, guru PPPK, termasuk kepala sekolah. Saya saja yang guru kontrak,” ujarnya.
Jumiati berharap pemerintah lebih memperhatikan dan memprioritaskan putra-putri daerah Kotim yang sudah jelas mau mengabdikan diri meski di pedalaman. ”Saya ini asli putri daerah Kotim yang ingin memajukan daerah kelahiran saya. Cuma kami yang siap bertahan mengajar. Harapan saya itu saja,” ujarnya.
Ada pula Budiani yang memutuskan berhenti mengajar setelah dinyatakan tidak lulus mengikuti tes pertama. Budiani mencoba peruntungan lagi mengikuti tes kedua kalinya, Senin (25/7) lalu.
”Sejak nama saya dinyatakan tidak lulus, saya memutuskan tidak mengajar dulu. Gimana kerja kalau jelas sudah tidak dianggap. Siapa yang mau menggaji? Pakai dana BOS (bantuan operasional sekolah) tak sanggup,” ujar guru yang mengajar di SDN 1 Tehang, Kecamatan Parenggean ini.
Di tempatnya mengajar ada lima guru PNS dan tiga guru honor. Selama lima bulan terakhir, guru honor belum menerima gaji lancar dari dana BOS. ”Gimana mau pakai dana BOS, tiga guru yang ada saja sudah lima bulan belum terima gaji. Dapatnya Rp 700 ribu per bulan. Gaji juga lambat dicairkan. Baru dua hari ini saja mereka terima gaji,” ujarnya.
Meski demikian, nasib koleganya jauh lebih beruntung dibandingkan dirinya beberapa tahun silam. Pada 2006, Budiani hanya digaji tiga kaleng beras. ”Saya honor dari Januari 2006, gaji saya hanya dibayar tiga kaleng beras. April 2008 baru diangkat jadi tenaga kontrak,” ujarnya.
Perjuangannya mengikuti evaluasi tahap II juga penuh liku. Dia berangkat Minggu (24/7) siang. Di tengah perjalanan, sekitar pukul 14.30 WIB, ban mobil yang dikemudikan adik iparnya patah baut.
Setelah diperbaiki berjam-jam, perjalanan dilanjutkan. Namun, belum sampai Sampit, ban kembali mengalami patah baut di Jembatan Bajarum, Kotabesi.
”Sampai Kotabesi saya minta jemput teman. Sampai Sampit jam setengah sebelas malam. Biaya perjalanan habisnya Rp 1 juta,” ujarnya.
Budiani berharap panitia seleksi bersikap adil, tak memihak siapa pun. ”Nilai kami ini dari kinerja kami. Kalau dari nilai itu untung-untungan saja. Bisa saja nasib kami baik, bisa juga tidak. Kami ini dituntut lanjut sekolah sampai sarjana S-1. Sudah selesai sekolah, justru diberhentikan. Tidak diluluskan. Saya hanya berharap dengan pemerintah, bersikaplah seadil-adilnya,” katanya.
Perjalanan jauh juga dialami Sliwenie. Guru yang mengajar di SMPN 8 Mentaya Hulu ini menghabiskan Rp 1 juta dengan waktu tempuh selama 12 jam perjalanan dari Desa Tumbang Torung menuju Sampit demi mengikuti tes.
”Saya mulai mengajar jadi guru honor sudah dari tahun 2012 dan diangkat jadi guru kontrak baru tahun 2020. Saya asli Tumbang Torung yang memiliki harapan kuat agar pemerintah dapat tetap mempertahankan saya mengajar menjadi guru sampai batas waktu yang telah ditentukan pemerintah pusat nantinya,” tandasnya. (***/ign)