Tugas pengabdian mencerdaskan anak bangsa terpacak dalam sanubari sejumlah guru di Kabupaten Kotawaringin Barat. Seberat apa pun medan yang harus ditempuh, tugas mengajar tak boleh gagal.
KOKO SULISTYO, radarsampit.com, Pangkalan Bun
Pengabdian para guru asal Pangkalan Bun dan Ibu Kota Kecamatan Kumai dalam melaksanakan tugasnya mengajar di sekolah dasar yang berada di pelosok sungguh menyentuh hati. Tidak banyak yang tahu bagaimana perjuangan mereka hingga sampai ke sekolah. Salah satunya adalah Ahmad Sofyan, yang mengajar di salah satu sekolah di seberang Kumai. Demi menjalankan kewajibannya, ia rela menyeberangi Sungai Kumai yang bermuara ke laut Jawa menggunakan perahu.
Lalu berjalan kaki menembus hutan bakau berlumpur ratusan meter jauhnya. Gambaran perjuangan para guru yang mengajar di pelosok desa dan Ibu Kota Kecamatan Kumai terlihat ketika para pendidik yang berasal dari empat sekolah, yaitu SDN 3 Kumai Hilir, SDN 1 Sungai Bedaun, SMPN 6 Kumai, serta SD dan SMP Satap Negeri 4 di Sei Sekonyer baru pulang mengajar.
Ketika pulang sekolah atau berangkat mengajar, saat kondisi sedang musim air surut, mereka harus berjalan kaki menembus hutan bakau di tepi sungai untuk sampai ke tempat perahu menjemput mereka. ”Kalau mau pulang sekolah atau berangkat, memang seperti itu kalau sudah musim air surut. Ya, mau tidak mau kami harus ngambil solusi biar bisa pulang. Kalau menunggu air pasang bisa sampai sore atau malam,” ujarnya, Minggu (6/11).
Menurutnya, semua guru yang mengajar di pelosok berasal dari Kumai dan Pangkalan Bun. Setiap hari rutinitas tersebut harus dijalani. Berkelotok dari Sungai Godang, kemudian lanjut naik sepeda motor ke masing-masing sekolah. Medan yang sulit tersebut mereka tempuh tergantung musim pasang surutnya air. Kadang mereka berombongan berjalan kaki menyusuri sungai.Rutinitas itu sudah mereka jalani selama puluhan tahun mengajar.
Sebetulnya ada pelabuhan di pinggir laut yang saat ini dipakai perusahaan untuk pengangkutan buah kelapa sawit. Namun, kalau melalui pelabuhan tersebut, para pengajar kesulitan menitipkan kendaraan, karena tidak ada jasa penitipan di dermaga tersebut. Bahkan, untuk pelabuhan di pinggir laut, mereka tidak tahu apakah milik pemerintah atau milik perusahaan, karena selama ini yang melewati hanya penyeberangan mobil truk buah kelapa sawit perusahaan.
Untuk itu, ia berharap agar pemerintah memperhatikan akses bagi mereka dan anak-anak untuk dapat mencapai sekolah dan kembali ke rumah saat pulang mengajar. ”Kami, guru-guru maupun anak-anak yang melanjutkan sekolah di Kumai, semuanya lewat sungai ini. Belum pernah kami lewat pelabuhan, karena tidak ada tempat penitipan motor dan tidak ada tempat berteduh saat panas maupun hujan,” ujarnya. (***/ign)