Ancaman predator seksual di Kabupaten Kotawaringin Timur tak berkesudahan. Kasus pelecehan hingga kekerasan seksual dari orang terdekat terus bermunculan. Anak-anak Kotim kian terancam jadi tempat pelampiasan nafsu jahanam. Selain hukuman keras terhadap pelaku, perlu edukasi yang gencar agar kasus itu tak lagi terus berulang. Belum hilang ingatan publik dari perkara guru yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak didiknya, muncul kasus baru yang lebih parah. Seorang ayah berinisial R (45) di Kecamatan Baamang, dilaporkan mencabuli anak tirinya sendiri sebanyak tujuh kali. Perbuatan bejat itu dilakukan di rumah.
Informasi dihimpun, peristiwa terjadi November lalu. Kejadian berawal saat pelaku mengancam korbannya melalui pesan WhatsApp. ”Pelaku mengancam tidak membiayai korban sekolah jika tidak menuruti permintaan ayahnya,” kata Gofur, warga Kecamatan Mentawa Baru Ketapang, Minggu (11/12).
Merasa terancam, korban yang tidak berani melawan akhirnya menuruti permintaan ayah tirinya. Aksi pencabulan itu terjadi saat rumah mereka sedang sepi. ”Kalau saya dengar, pelaku sudah lebih dari satu kali mencabuli korbannya di rumah mereka,” katanya. Perbuatan ayah tirinya, membuat korban tak tahan. Hingga akhirnya peristiwa itu diceritakan pada saudara sepupunya. Terbongkarnya perbuatan pelaku membuat pihak keluarga tak terima dan melapor ke aparat kepolisian. ”Saat ini pelaku sudah diamankan polisi. Saya melihat langsung penangkapan terhadap pelaku,” katanya.
Belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian terkait kasus tersebut. Informasinya, pelaku sudah diproses dan mendekam di balik jeruji besi penjara di Mapolsek Ketapang. Masih tingginya kekerasan seksual pada anak jadi tantangan bagi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur dalam mewujudkan kota layak anak. Bupati Kotim Halikinnor sebelumnya telah meminta Kepala Satuan Organisasi Perangkat Daerah (SOPD) terkait membentuk tim dan menyusun langkah strategis, kebijakan, dan program untuk mewujudkan kota layak anak.
”Saya minta segera bentuk tim dan segera berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk wujudkan kota layak anak di Kotim,” ujarnya, Juli lalu. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kotim, tren kekerasan terhadap anak di Kotim meningkat. Pada tahun 2020 sejumlah 10 kasus, 2021 18 kasus, dan sampai Juni lalu terjadi 9 kasus kekerasan terhadap anak.
Masih tingginya kasus kekerasan terhadap anak di Kotim merupakan poin penting yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, bagaimana anak seharusnya mendapatkan perlindungan dan hak anak. Halikinnor menegaskan, pemerintah akan terus berupaya dan bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat, perkumpulan, dan lainnya untuk mengatasi permasalahan tersebut secara berkelanjutan . Dia juga meminta dinas terkait melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak-anak. Pihaknya berharap tidak ada lagi kekerasan terhadap anak khususnya di Kotim dengan tekad bersama zero kasus kekerasan terhadap anak di Kotim.
Selain pemerintah, peran lingkungan keluarga juga penting mencegah kekerasan seksual anak secara dini. Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang Pediatri Sosial dari RS Hermina Yogyakarta Mei Neni Sitaresmi mengatakan, anak harus diajari pendidikan seksual sesuai tahapan perkembangannya. Dikutip dari laman Universitas Islam Indonesia, Mei menuturkan, anak harus memiliki keterbukaan kepada orang tua dan pendidik mengenai keingintahuannya. Anak yang tidak memiliki rasa terbuka, akan lebih nyaman mencari informasi di internet yang jauh lebih berisiko. Informasi di internet kurang bisa disaring dan dipertanggungjawabkan, sehingga perlu pendampingan, khususnya oleh orang tua saat anak sedang berselancar di internet.
Menurutnya, kekerasan seksual pada anak akan menimbulkan kerugian fisik, seperti infeksi menular seksual, gangguan menstruasi, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Dampak pada masalah mental jauh lebih kompleks, seperti depresi, kecemasan, kecenderungan bunuh diri, penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seks yang menyimpang, hingga krisis identitas gender. ”Tak jarang pelaku kekerasan pada anak adalah dulunya seorang korban,” tambahnya.
Dia melanjutkan, data statistik menunjukkan 95% tenaga prostitusi, 59% wanita di penjara, 60% ibu remaja merupakan korban kekerasan seksual anak. Untuk itu, diperlukan pencegahan dengan mengenali faktor risiko, baik dari anak, orang tua, maupun lingkungan. Anak dengan usia muda, tambahnya, berjenis kelamin perempuan dan berstatus anak tiri, lebih berisiko menjadi korban. Melihat aspek orang tua tunggal, menderita gangguan mental, miskin, dan ketergantungan obat-obatan terlarang berisiko tinggi menjadi pelaku KSA. Termasuk apabila korban dan pelaku tinggal di lingkungan yang rentan konflik dan kekerasan.
Untuk mencegah kekerasan seksual anak, dia menyarankan orang tua mengenalkan anggota tubuh sejak dini pada anak. Anak diberi penjelasan mengenai perbedaan alat kelamin perempuan dan laki-laki. Diberi penjelasan mengenai sentuhan baik dan buruk. Sentuhan baik atau boleh adalah sentuhan yang tidak menyakiti dan membuat nyaman. ”Bagian yang boleh disentuh adalah dari bahu ke atas dan dari lutut ke bawah, contohnya bersalaman dan mengusap kepala. Berbeda dengan sentuhan yang buruk atau tidak boleh, adalah sentuhan yang membuat anak sakit, takut, dan marah. Bagian yang tidak boleh disentuh adalah area yang tertutup oleh baju renang mulai dari paha, dada, bagian dekat kemaluan, dan mulut,” jelasnya.
Dia melanjutkan, terdapat satu jenis sentuhan, yakni membingungkan, tidak menyakiti tapi membuat risih/jijik. Biasanya muncul di area antara bahu dan lutut. Terutama jika sentuhan ini menunjukkan kasih sayang dan nafsu. Bermula dari mengelus kepala, memeluk-meluk, kemudian meraba bagian tubuh dari bawah bahu sampai atas lutut. (sir/ign)