Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Timur (Kotim) menegaskan komitmennya membela masyarakat Desa Tumbang Ramei, Kecamatan Antang Kalang, dari ancaman ekspansi perkebunan. Hutan di wilayah itu akan tetap dipertahankan dan dikelola masyarakat setempat. Hal tersebut disampaikan Asisten II Setda Kotim Alang Arianto, Rabu (14/12). Alang merupakan salah satu pejabat yang ikut turun ke Tumbang Ramei mengecek langsung lokasi lahan yang disebut-sebut akan digarap perkebunan PT Bintang Sakti Lenggana.
Menurut Alang, PT BSL belum melakukan aktivitas apa pun di lapangan. Berkaitan dengan izin perusahaan tersebut, karena belum ada kadastral (proses pendaftaran tanah dengan mewujudkan kepastian objek dan subjek pemegang hak atas tanah yang sah sesuai ketentuan perundang-undangan), sehingga mudah dikeluarkan dari izin PT BSL (enclave). ”Kami juga tidak ingin masyarakat kita ibarat peribahasa tempun petak ela manana sare (tersingkirkan, Red), apalagi kita sudah susah mencari lahan,” kata Alang.
Alang menyarankan agar camat dan kades melakukan ploting koordinat di mana saja lahan yang harus dikeluarkan dari izin PT BSL. Pasalnya, tidak mungkin perusahaan masuk tanpa persetujuan dan tak ada ganti rugi tanam tumbuh (GRTT). Kalaupun ada, aktivitas mereka harus melewati proses tersebut dulu. ”Jadi, pemerintah daerah tidak pernah membiarkan masyarakatnya sendiri. Makanya hutan ini akan dikelola melalui desa dan masyarakat Desa Tumbang Ramei,” ujarnya.
Asisten I Diana Setiawan mengatakan, Pemkab Kotim menurunkan tim dengan formasi lengkap ke Desa Tumbang Ramei. Hal tersebut merupakan perintah langsung Bupati Kotim Halikinnor untuk menyelesaikan konflik tersebut. ”Kehadiran kami merupakan perintah Bupati untuk mengecek. Pertama bekas perizinan PT BSL. Makanya tadi ada teman-teman yang mengambil koordinat. Kedua, melihat situasi dan kondisi di lapangan, karena PT BSL sudah mengantongi izin lokasi dan IUP,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Desa Tumbang Ramei Natalis bersama unsur Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setempat akan bersurat lagi ke Pemkab Kotim terkait penolakan izin PT BSL yang luasanya sekitar 4.000 hektare. Hal itu juga untuk mempermudah pemerintah daerah mempertimbangkan rencana pencabutan izin di wilayah mereka. ”Kami akan surati pemerintah daerah bersama BPD untuk penolakan itu. Tadinya ada pihak pemerintah daerah yang juga menyatakan daerah memang belum ada aktivitas, sehingga lebih mudah dalam pengambilan keputusan pencabutan,” kata Natalis.
Natalis menegaskan, pihaknya hanya meminta Pemkab Kotim mencabut semua perizinan PT BSL di wilayah desa mereka. Apalagi di lahan itu tidak ada aktivitas perusahaan, karena sudah sejak setahun lalu mereka menolaknya. ”Semoga ada akhir penyelesaian agar izin itu dicabut, karena sudah setahun masalah penolakan warga terhadap BSL,” ujarnya. (ang/ign)