Sejumlah warga Kota Sampit menyikapi beragam protes sejumlah pedagang terhadap keberadaan waralaba minimarket. Sebagian besar berpandangan, pelayanan menjadi kunci utama bagi pedagang agar bisa bertahan di tengah semakin ketatnya persaingan usaha. ”Saya sering juga belanja ke toko modern, karena memang di situ bisa memilih barang yang dicari. Di situ langsung ada harganya, sehingga sebagai pembeli sudah bisa menghitung berapa yang harus dibayar. Pada intinya, pelayanan di toko lebih ramah,” kata Lince, warga Baamang.
Lince mengaku memiliki pengalaman buruk berbelanja di sebuah warung tradisional. Dia menemui pedagang yang pelayanannya kurang baik. Ketika ditanya harga barang, dia mendapat jawaban kurang mengenakkan. ”Sejak saat itu saya juga sudah tidak pernah lagi ke warung tersebut, karena bagi saya kenyamanan sebagai pembeli hal yang utama. Sekali saja saya diperlakukan begitu, saya tidak akan datang lagi,” ujarnya, Selasa (24/1).
Warga lainnya, Dewi, pegawai di sebuah kantor di Sampit mengaku lebih sering berbelanja di warung dekat rumahnya. Padahal, ada juga minimarket di kawasan itu. ”Karena yang punya warung orangnya baik, bahkan saya sudah kenal. Kalau bawa uang kurang, bisa ngutang sebentar sekembali saya ke rumah,” ujarnya. Dia mengaku memilih warung tradisional karena sudah kenal baik dengan pemiliknya. Bahkan, dia sering menanyakan barang kebutuhan melalui pesan WhatsApp. ”Saya kalau lagi sibuk di kantor, mau beli barang saya tinggal pesan lewat WA dan totalkan harganya. Jadi, pulang kerja tinggal mampir ambil barang dan bayar,” tuturnya. Menurutnya, salah satu kunci di tengah gempuran toko modern, warung tradisional harus melakukan perbaikan pelayanan. ”Kalau pelayanan bagus, ramah, dan murah senyum, konsumen pasti datang lagi. Persaingan di era sekarang memang begitu. Siapa yang bisa bersaing, dia akan eksis,” ujarnya.
Di sisi lain, Dewi sepakat keberadaan minimarket berjaringan dibatasi di dalam Kota Sampit. Minimarket yang ada sekarang sudah cukup. ”Kalau bagi kami konsumen ini sebenarnya tidak masalah semakin banyak retail modern, tapi saya banyak teman yang punya warung, sedikit banyak kasihan juga kalau pembeli mereka habis lari ke toko modern,” katanya. Sementara itu, seorang pemilik warung tradisional di wilayah Baamang, Rahman, mendukung pembatasan retail modern di Sampit, meski usahanya masih stabil. Kebetulan warung miliknya jauh dari minimarket.
”Saya sepakat dibatasi, supaya kami warung kecil tetap bisa hidup. Bagaimana pun warung kecil akan kalah bersaing dengan pemodal besar. Mereka tokonya punya rak yang rapi, bersih, dan ber-AC. Sementara kami, warung biasa, semuanya campur aduk. Jualan beras, sembako, termasuk jual bensin,” ungkap Rahman. Dia mengaku siap menyampaikan aspirasi tersebut secara terbuka, baik kepada Pemkab maupun DPRD Kotim. ”Kalau memang ada aksi bersama, saya siap ikut,” katanya. (ang/ign)