SAMPIT – Protes terhadap maraknya retail modern tak hanya di Kota Sampit, namun juga terjadi di Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur. Persatuan pedagang warung di wilayah itu mengancam akan melakukan aksi turun ke jalan. Mereka menolak keras izin minimarket berjaringan yang terus diterbitkan di wilayah itu.
”Pedagang menyampaikan aspirasi itu kepada kami. Kalau tidak adanya respons dari pemerintah daerah, maka jalan terakhir persatuan pedagang pasar kecamatan parenggean akan melakukan aksi di lapangan,” kata Hendra Sia, anggota DPRD Kotim, Minggu (12/3).
Persatuan pedagang tersebut menyerahkan laporan penolakan mereka ke anggota DPRD Kotim. Tuntutannya, menolak izin baru sekaligus meminta Pemkab Kotim menutup retail modern di wilayah Parenggean. Mereka juga mendapat informasi, bahwa izin baru kembali diterbitkan. Hal tersebut membuat pedagang tradisional mulai terdampak.
”Mereka meminta camat selaku perwakilan pemerintah mencabut izin Indomaret yang sudah dibuka dan menghentikan rekomendasi penambahan izin baru,” kata Hendra Sia.
Menurutnya, keberadaan waralaba minimarket tersebut berdampak hebat pada perekonomian pedagang yang kian terpuruk. Puluhan tahun berusaha, pedagang baru terdampak sejak munculnya retail modern tersebut.
Hendra Sia melanjutkan, saat rapat dengar pendapat (RDP) terkait polemik tersebut, disebutkan pembangunan retail modern harus ada persetujuan dari warga dan pedagang sekitar. Karena itu, diduga kuat munculnya izin tersebut tidak sesuai prosedur.
”Bahkan, kemarin dengan tegas pemerintah mengatakan tidak berani merekomendasikan izin kalau tidak ada persetujuan pedagang sekitar. Nah, ini harus dievaluasi kembali, mengapa ada berdiri retail modern, sedangkan kesaksian semua pedagang sekitar mengatakan tidak ada dimintai persetujuan,” ucapnya.
Tak hanya pedagang kecil, waralaba berjaringan juga berdampak pada bisnis skala besar; Hypermart. Dalam pertemuan dengan DPRD Kotim, mereka mengeluhkan kian maraknya minimarket tersebut.
Staf manajer Hypermart Sampit Sutrisno mengatakan, Januari lalu pihaknya melaksanakan rapat tentang market sale tahun 2022 dan 2023. Retail modern mengalami anomali di Indonesia yang tinggal 13 persen pada 2022.
”Pada 2023 tantangannya luar biasa, karena tinggal sembilan persen saja. Yang memengaruhinya salah satunya online dan kemunculan market-market kecil modern ini. Bahkan, ada yang sudah sampai di kawasan perumahan. Berdirinya berdampingan, Alfamart dan Indomaret,” katanya.
Dia melanjutkan, Hypermart Sampit menargetkan pendapatan Rp5 miliar, namun hanya bisa mencapai Rp3 miliar. Padahal, untuk operasional saja pihaknya perlu Rp500 juta per bulan.
”Maka itu kami terus memutar kepala untuk mencari solusinya bagaimana, agar kami bisa bertahan di tengah gempuran dan dengan dikelilinginya market modern ini,” ujarnya.
Sebelumnya, pekan lalu, aspirasi pedagang di Sampit terkait protes terhadap maraknya retail modern diakomodir DPRD Kotim dalam rapat dengar pendapat (RDP), Kamis (9/3). Para pedagang tradisional tersebut mengungkap sejumlah keluhannya terkait ekspansi waralaba minimarket yang tak terbendung disertai dugaan pelanggarannya.
Rui, salah seorang pelaku usaha meminta Pemkab Kotim menghentikan perizinan toko modern baru, karena tidak proporsional dengan jumlah penduduk. Selain itu, tidak sesuai dengan Perda Nomor 4 Tahun 2015.
”Cabut izin atau bekukan jika ada toko yang tidak sesuai dengan perda sebagai bentuk sanksi administrasi yang diatur juga dalam perda, serta harus memakai jasa konsultan untuk menghitung jumlah proporsional. Ini juga diatur dalam perda,” katanya.
Pihaknya juga mendesak pembentukan tim untuk mencari alasan mengapa izin ini minimarket berjaringan seolah diobral di Kota Sampit. Dia menilai pemerintah lalai dan meminta agar investasi tersebut tidak dibiarkan, namun harus diatur secara ketat.
”Juga pengawasan oleh DPRD. Terkait perdanya, saat saya minta Komisi I tidak punya. Satu minggu baru saya dapat salinan. Kami menerima investor, namun tidak membiarkan mereka menginjak kepala kami. Investor itu ditemani, diarahkan agar sesuai aturan karena pemerintah punya aturan. Perekonomian daerah bisa berdiri karena kekuatan UMKM. Pemerintah tepuk dada majukan UMKM, dorong UMKM, namun kami dicekik menjamurnya pemberian izin retail modern,” tegasnya.
Pemkab Kotim yang diwakili Asisten II Setda Kotim Alang Arianto membantah pemberian izin retail modern di Kota Sampit tidak sesuai aturan. Pasalnya, pengajuan izin retail modern atas persetujuan warga setempat.
Alang menegaskan, setiap pengajuan izin pihaknya selalu melakukan rapat koordinasi dengan sejumlah instansi, seperti Dinas PUPRPKP berkaitan dengan ruang. Persetujuan dimulai dari tingkat RT. Jika semuanya dilengkapi, mereka akan menerbitkan rekomendasi kepada DPMPTSP Kotim untuk diterbitkan izinnya.
”Rekomendasi itu kami serahkan ke DPMPTSP. Jika sudah ada persetujuan dari warga setempat, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak memberikan rekomendasi. Jadi, kami beri rekomendasi dan titik koordinatnya kepada DPMPTSP. Di sana nanti yang mengurus perizinannya,” jelasnya.
RDP yang dipimpin Ketua Komisi I Rimbun dan Ketua Komisi II Juliansyah ini menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, Pemkab Kotim diminta melakukan perbaikan dan revisi Perda Kotim Nomor 4 Tahun 2015 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Kemudian, pemberian perizinan retail modern diperketat dan dievaluasi dengan menyesuaikan aturan yang berlaku. Ketiga, Pemkab Kotim wajib melaksanakan pengawasan terhadap retail modern yang dilakukan aparatur pemerintah bersama Satpol PP.
”Bentuk pengawasannya nanti mungkin bisa melalui surat edaran dari pemerintah kepada retail modern atau bagaimana nanti kami percayakan kepada pemerintah daerah memahaminya dan bisa menindaklanjutinya,” katanya.
Selanjutnya, Pemkab Kotim wajib membina dan memperhatikan masyarakat kecil dengan memberikan bantuan usaha kecil melalui program yang disesuaikan dengan aturan yang ada. Secara teknis, pihaknya juga mempercayakan Pemkab Kotim untuk melaksanakan sesuai aturan. (ang/ign)