Kondisi keuangan daerah yang tengah dilanda krisis, memaksa Bupati Kotim Halikinnor mengambil kebijakan darurat. Dia memerintahkan semua satuan organisasi perangkat daerah (SOPD) menghentikan semua kegiatan. Pilihan pahit yang harus diambil agar anggaran bisa fokus membayar utang daerah. Jalan pedang (pilihan dan keyakinan menentukan sikap atas situasi tertentu, Red) Halikinnor tersebut harus diambil agar tak mewariskan utang anggaran di masa depan. Di sisi lain, untuk membebaskan Kotim dari sandera biaya tinggi yang harus dibayar setiap tahun. ”Kami mengevaluasi seluruh anggaran, karena selama ini Kotim memiliki beban utang yang cukup besar setelah Covid-19,” kata Halikinnor, Kamis (24/8) lalu.
Selain anggaran yang terdampak pandemi sebelumnya, pemerintahan yang dipimpin Halikinnor-Irawati tahun ini masih harus melunasi utang sekitar Rp145 miliar. Utang sebesar itu merupakan kewajiban pembayaran dari sejumlah proyek fisik dengan sistem pembayaran multiyears atau tahun jamak yang diwariskan pemerintahan sebelumnya. Halikinnor mengungkapkan, keuangan daerah saat ini mengalami penurunan pendapatan, salah satunya pada pos dana alokasi umum (DAU). Anggaran yang biasanya diterima sebesar Rp60 miliar setiap bulan, kini hanya Rp43 miliar. Kondisi itu diperparah Kotim tak mendapat dana alokasi khusus (DAK).
Pada sisi belanja, kebutuhan Kotim sangat tinggi, sehingga neraca keuangan daerah jomplang. Dia ingin merasionalisasikan anggaran tahun 2024. Dari sisi pendapatan Rp1,5 triliun, lalu belanja Rp2 triliun. Otomatis ada anggaran sebesar setengah triliun untuk belanja daerah yang harus dicari sumber pembiayaannya. ”Karena fiskal tinggi untuk mengimbangi belanja, kami meningkatkan pendapatan yang sebenarnya tidak bisa terpenuhi,” katanya. Halikinnor menegaskan, penghentian kegiatan itu untuk merelisasi anggaran agar piutang daerah dapat dibayar. Kebijakan tersebut merupakan langkah menyelamatkan pembangunan yang tengah berjalan. Salah satunya tambahan penghasilan pegawai (TPP) ASN, insentif tenaga kesehatan, dan gaji.
Sejumlah anggaran itu merupakan hak pegawai dan masih jadi tanggungan utang Pemkab Kotim yang wajib dibayarkan. Selain itu, juga ada dana desa yang menjadi perhatian penting untuk diselesaikan dan dibayarkan. Menurut Halikinnor, rasionalisasi program yang dilakukan tidak secara menyeluruh. Beberapa kegiatan bersifat mendesak dan sudah masuk tahap kontrak tetap berjalan. ”Saya dan wabup kalau berakhir tahun 2024, siapa pun pemimpin daerah nanti tidak akan menanggung beban ini. Jadi, agar bisa lebih fokus dan membangun daerah bisa lebih baik lagi,” ujarnya. Halikinnor telah memerintahkan Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang juga Sekda Kotim Fajrurrahman menyurati semua SOPD. Ada beberapa ketentuan dalam surat itu, yakni agar tidak memproses program atau kegiatan atau sub kegiatan tahun anggaran 2023 yang belum dilaksanakan sejak surat disampaikan. Apabila perangkat daerah tetap melaksanakan program dan kegiatan dimaksud, maka Surat Penyediaan Dana (SPD) dan Surat Perintah Membayar (SPM) tidak akan diproses. Hal tersebut akan menjadi tanggung jawab masing-masing perangkat daerah.
Adapun beberapa program dan kegiatan yang diminta tetap dilaksanakan, yaitu program kegiatan yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK); program dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR); program dari Dana Insentif Daerah (DID); program dari pokok-pokok pikiran DPRD atau hasil reses; dan program kegiatan strategis terkait pengembangan Bandar Udara Haji Asan Sampit. Mantan Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli sebelumnya mengatakan, rasionalisasi program harus diambil oleh pemangku kebijakan. Jika tidak, tahun anggaran berikutnya akan kembali mewariskan utang. ”Rasionalisasi ini agar jangan sampai mengorbankan hak-hak yang sudah semestinya dibayar, seperti tunjangan penghasilan dan hak keuangan pegawai lainnya. Memang kita mesti ambil pilihan paling sulit, salah satunya rasionalisasi supaya bisa menuntaskan persoalan keuangan daerah ini,” ujar Jhon, beberapa waktu lalu. Jhon menyarankan agar kepala SOPD mencari sumber pendapatan, baik di daerah atau melobi pemerintah pusat. Hal tersebut penting untuk mencari peluang anggaran yang bisa membiayai program pembangunan daerah.
”Zaman saya tahun 2019, DAU bisa stabil. Tidak ada tren penurunan, sedangkan belakangan kok bisa turun signifikan? Artinya, pemerintahan ini tidak maksimal dalam melaksanakan tugas di sektor APBD,” katanya. Menurut Jhon, saat ini APBD Kotim masih terbelenggu utang kegiatan, karena dipaksakan di APBD sebelumnya. Pemerintah terutang dengan kontraktor untuk kegiatan tahun 2022 silam. ”Tahun 2022 terutang Rp76 miliar di tahun 2023 ini. Belum lagi utang TPP ASN yang belum dibayarkan hingga saat ini,” kata Jhon. (ang/ign)