Proses pembahasan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) rawan terjadi tindak pidana korupsi yang menyeret banyak pihak. Praktik yang biasanya awam terjadi berupa gratifikasi alias suap. Praktik kotor tersebut harus diwaspadai dalam pembahasan anggaran yang sudah mulai berjalan. ”Proses pembahasan anggaran di lembaga yang sudah berjalan harus diawasi. Kapan perlu telepon mereka diawasi KPK langsung, karena tidak menutup kemungkinan ada oknum yang masih suka bermain di wilayah itu,” kat Abdul Hadi, salah satu aktivis mahasiswa di Kota Sampit.
Pernyataan Abdul Hadi bukan tanpa dasar. Sebab, ada puluhan tersangka kasus yang bermula dari APBD tersebut. Di antaranya ada istilah uang ketok palu. Modusnya, membuat suasana rapat pembahasan seakan-akan deadlock. Situasi demikian memunculkan nilai tawar atau bargaining. Di satu sisi, eksekutif menginginkan apa yang diusulkan semuanya lolos tanpa hambatan. Tawar-menawar pada kesempatan tersebut sering terjadi.
Menurutnya, suap demikian acap disebut uang ketok palu. Agar tidak ada penolakan dari legislatif, kepala daerah harus mengeluarkan uang suap untuk pimpinan maupun semua anggota DPRD. Bisa juga dengan menambah pendapatan anggota dan pimpinan dewan secara tidak sah melalui pos anggaran DPRD. Kemudian, menitipkan proyek atau alokasi khusus melalui anggaran yang diusulkan pemerintah. ”Harusnya, sebagai bentuk transparansi, pihak Sekretariat DPRD menyediakan siaran langsung pembahasan supaya orang banyak bisa menyaksikan,” kata Abdul Hadi.
Dia mengingatkan pihak terkait agar tidak main-main. Sebab, saat ini ada tiga institusi yang bisa menyelidiki dan mengungkap kasus korupsi, yakni KPK, jaksa, dan polisi. ”Kasus korupsi yang terjadi di Malang dan Sumatera Utara seharusnya menjadi peringatan dan pelajaran bagi semua anggota DPRD supaya tidak main-main,” katanya. (ang/ign)