Mantan Kepala Dinas Perhubungan Kotim, FN, yang terseret dugaan korupsi retribusi parkir di Pusat Perbelanjaan Mentaya (PPM) Sampit, mengungkap sejumlah kejanggalan perkara yang menyeretnya ke penjara. Dia juga mempersoalkan administrasi kasusnya yang dinilai cacat. Hal tersebut disampaikan dalam gugatan praperadilan terhadap Kejari Kotim yang disidangkan di Pengadilan Negeri Sampit, Selasa (20/12/2023). Melalui kuasa hukumnya, M Syafrinoor, menyebutkan, selama persidangan itu penyidik tidak bisa menunjukkan bukti kerugian negara yang menjadi dasar penetapan kliennya sebagai tersangka.
”Mereka katakan hasil audit ada, tapi dalam sidang ini mereka tidak bisa menunjukkan hasil audit itu sebagai bukti. Mereka tidak bisa tunjukkan itu, sehingga tidak ada kepastian kerugian negara, karena itu harus pasti dengan nilai yang pasti,” tegasnya usai persidangan. Selain itu, lanjutnya, administrasi penyidikan yang dilakukan tidak jelas. Di antaranya, nama tersangka yang tidak sesuai. Kemudian, nomor surat yang digunakan sama untuk tiga jenis surat berbeda. Karena itu, penetapan tersangka dan proses penahanan terhadap FN dinilai cacat hukum.
”Poin lainnya, identitas tersangka FN, yaitu bin yang menyatakan nama orang tua, itu salah seharusnya bin A. Namun, di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bin B. Termasuk di semua surat. Kemudian juga terjadi cacat administasi, mulai dari surat perintah penyidikan, surat perintah penahanan, dan surat penetapan tersangka memiliki nomor surat yang sama persis,” ujarnya. Lebih lanjut Syafrinoor mengatakan, setiap surat punya kode nomor berbeda. Hal itu berlaku di semua aparat penegak hukum. ”Ada tiga surat yang berbeda. Sprint penyidikan 7 November, sprint penetapan tersangka, sprint penahanan 17 November. Tiga tiga nomornya ini sama. Administrasi penyidikannya kacau,” tegasnya.
Mengenai tudingan itu, Kejari Kotim menegaskan, proses penetapan tersangka dan lainnya sudah sah secara hukum. ”Kami menolak dalil pemohon dengan tetap pada jawaban kami yang diserahkan pada persidangan tanggal 18 Desember 2023,” kata Johanes Eko S Junior Sidabutar didampingi Galang G Nugrahaning Tunggal dari Kejari Kotim.
Dia menegaskan, hal terkait error in persona bukan merupakan ruang lingkup praperadilan, melainkan ruang lingkup eksepsi penasihat hukum atas dakwaan penuntut umum. Di sisi lain, proses administrasi yang dikeluarkan termohon dinilai sudah sesuai. ”Alasan yang diajukan pemohon dalam replik dan permohonan pemeriksaan praperadilan tidak berdasarkan argumen yuridis yang tepat. Oleh karenanya, permohonan itu sudah sepantasnya ditolak untuk seluruhnya,” katanya. FN sebelumnya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Lalu, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Kedua Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kejari Kotim sejauh ini baru menetapkan dua tersangka dalam perkara tersebut, yakni FN dan IS (pengelola parkir). Dalam perkara itu, kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp737.456.530, berdasarkan perhitungan Inspektorat Kotim. Meski telah menetapkan dua tersangka dalam pengelolaan retribusi parkir di PPM Sampit sejak tahun anggaran 2019-2022 tersebut, jaksa belum mengungkap secara rinci kasus tersebut hingga modus para tersangka sampai menyebabkan kerugian negara. (ang/ign)