Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotawaringin Timur akhirnya menjawab keraguan publik terkait tuntutan terhadap terdakwa kasus sabu seberat 6,4 kilogram di Sampit, Tino Aji Saputro. Budak bisnis haram itu dituntut hukuman seumur hidup. Sorotan kini mengarah pada vonis hakim agar selaras dengan tuntutan tersebut. ”Sudah dituntut seumur hidup,” kata JPU Kejari Kotim Rahmi Amalia.
Hukuman seumur hidup kepada Tino Aji yang kesehariannya sebagai petugas jaga malam di Baamang tersebut merupakan pertimbangan dari Kejaksaan Agung yang sebelumnya diajukan Kejari Kotim melalui Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah. Pengajuan itu dilakukan karena barang bukti sabu yang ada tergolong besar. Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejari Kotim Arwan Kamil sebelumnya mengatakan, perkara itu prosesnya memang sampai Kejagung. Hal itu pula yang membuat agenda sidang berupa pembacaan tuntutan yang sedianya pekan lalu baru bisa minggu ini dilakukan.
”Prosesnya sampai pimpinan. Jadi, apa pun keputusan pimpinan, akan di sampaikan di persidangan,” kata Arwan, pekan lalu.
Hukuman terhadap terdakwa narkotika kelas kakap tersebut jadi perhatian publik di Kotim. Hukuman pada terdakwa diharapkan menjadi contoh dan memberi efek jera kepada semua pelaku bisnis barang haram tersebut. Dari sejumlah pendapat yang dihimpun Radar Sampit, sebagian besar sepakat terdakwa dihukum seberat-beratnya, minimal seumur hidup atau hukuman mati. Apalagi barang bukti yang didapat aparat sangat besar. Catatan Radar Sampit, ancaman hukuman mati maupun seumur hidup bagi pelaku kasus narkoba kelas kakap hanya basa-basi. Sejumlah pihak mulai dari aparat hingga pejabat, kerap menggaungkan hal tersebut saat pengungkapan bisnis haram. Namun, ujung hukuman terhadap para budak narkoba berakhir jauh dari harapan. Sejumlah kasus besar penangkapan sabu dengan barang bukti mencapai 1 kilogram lebih, selalu berakhir dengan tuntutan oleh jaksa maupun vonis pengadilan selama belasan tahun. Kasus paling parah dan memalukan dalam sejarah penegakan hukum di Kalteng, tercatat saat menimpa bandar besar sabu di Palangka Raya, Saleh, yang terbukti memiliki 200 gram sabu. Pria yang disebut-sebut bos besar kampung narkoba itu justru divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palangka Raya.
Meski akhirnya Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut, Saleh yang terlanjur bebas belum juga terlacak. Sejumlah pihak menduga ada permainan hukum dalam putusan bebasnya Saleh saat di tingkat pengadilan pertama. Hingga kini hasil penyelidikan terhadap hakim yang memvonis tak diketahui publik. Sementara itu, pada fakta persidangan kasus yang menyeret Tino, petugas jaga malam di wilayah Baamang itu sejatinya menerima sabu sebanyak 10 kilogram. Empat kilogram sudah terjual dan sisanya, 6.436,95 gram, diamankan diamankan aparat.
Hakim dibuat geleng-geleng kepala mendengar hal tersebut. Hal itu dinilai sebagai kasus narkoba dengan barang bukti terbanyak yang ditangani Pengadilan Negeri Sampit. Terdakwa mengaku bukan pemilik barang tersebut. Dia hanya diminta untuk mengambil sabu dan mengedarkannya. ”Waktu dihubungi katanya cuma dua kilogram, saat datang ternyata 10 kilogram,” ucap Tino.
Terdakwa mengaku menerima upah Rp3 juta per kilogram. Dia telah menerima upah Rp6 juta. Tino ingin mengedarkan sabu bersama Yudha Afriandi alias Yuda (berkas terpisah), setelah dikenalkan rekannya. Dua hari setelah menghubungi Yuda, dia diminta menerima sabu tersebut. (ang/ign)