Rencana Bupati Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor meninjau Pulau Hanibung sebagai lokasi penangkaran buaya akhirnya terlaksana. Didampingi sejumlah pejabat Pemkab Kotim, Halikinnor berangkat dari Kota Sampit menuju lokasi yang berada diwilayah Desa Camba, Kecamatan Kotabesi.
HENY
Perjalanan jalur darat menuju Dermaga Kotabesi memerlukan waktu sekitar 30 menit. Rombongan Bupati kemudian melanjutkan perjalanan jalur sungai dengan difasilitasi Kesyahbandaran Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas III Sampit menggunakan kapal KPLP KNP 342. Perjalanan jalur sungai ditempuh kurang lebih 1 jam 30 menit dengan kecepatan standar. “Pagi ini kita bersama beberapa SOPD didampingi Kepala KSOP Pak Hermawan meninjau lokasi Pulau Hanibung,” kata Halikinnor, Bupati Kotim, Selasa (16/1/2024) pagi. Pulau Hanibung dinilai tepat dijadikan tempat pengembangan objek wisata taman satwa baru di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Pulau Hanibung diketahui memiliki luas 260 hektare. Dikeliling oleh Sungai Mentaya selebar 70 meter pada alur sungai dalam dan 1 kilometer pada alur utama Sungai Mentaya.
“260 hektare itu sangat luas dan memungkinkan satwa liar yang dilindungi dikumpulkan di sini. Tidak hanya buaya yang menjadi rencana awal kita, tetapi bisa jadi satwa lain seperti orang utan, bekantan, monyet dan beberapa jenis burung yang hidup di Pulau Hanibung,” kata Halikinnor. Setelah melakukan peninjauan, Halikinnor nampaknya serius mengembangkan Pulau Hanibung sebagai objek destinasi wisata satwa baru di Kotim. “Kami akan tindaklanjuti lagi dan akan berkoordinasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kita akan buat master plannya, lakukan survey lanjutan. Memang rencana ini tidak seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi, tidak ada salahnya kita mulai merencanakannya,” ujarnya.
Halikinnor akan menyiapkan anggaran untuk pengembangan destinasi wisata baru di Kotim ini. “Selama ini Kepala BKSDA menyampaikan hasil penyelamatan dan satwa liar yang ditemukan warga diserahkan ke Kotawaringin Barat, karena kita tidak memiliki tempat konservasi. Kedepannya ini bisa menjadi wisata andalan kedua Kotim, selain Pantai Ujung Pandaran. Kalau Pulau Hanibung ini didesain betul-betul, bisa jadi pulau ini jadi pulau honeymoon untuk pasangan yang berbulan madu,” ucapnya seraya bercanda. Disekeliling Pulau Hanibung juga ditemukan udang galah yang hidup di Sungai Mentaya. Tidak hanya itu, disekitar Pulau Hanibung, warga juga kerap melihat kemunculan buaya.
“Saya mendengar informasi, buaya disekitar Pulau Hanibung cukup besar. Kedepannya, apabila memungkinkan ditengah Pulau Hanibung ini dibuat semacam danau khusus untuk habitat buaya,” ujarnya. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Badan Perencanaan, Riset Daerah (Baperrida) Kotim Ramadansyah mengatakan Pulau Hanibung termasuk dalam kawasan areal penggunaan lainnya (APL) seluas 260 hektare yang diperuntukkan untuk kawasan lahan pertanian. Namun, lokasinya yang berupa rawa-rawa dinilai kurang cocok dijadikan lahan pertanian. Sehingga, perubahan tata ruang dari kawasan pertanian menjadi kawasan satwa alam perlu direvisi.
“Sesuai dengan regulasi Permenhut Nomor P.19/Menhut-II/2005 lokasi di Pulau Hanibung dapat ditetapkan sebagai wisata taman satwa. Ini akan ditindaklanjuti Pak Bupati dengan membuat surat keputusan bupati terkait penetapan Pulau Hanibung sebagai wisata taman satwa,” kata Ramadansyah yang juga menjadi sebagai Kepala Bapenda Kotim. Dipilihnya Pulau Hanibung juga didasari berbagai pertimbangan, diantaranya kawasan ini masih hutan alami, dikeliling Sungai Mentaya dan berjarak tidak terlalu jauh dari Kota Sampit. “Pak Bupati memang ada merencanakan lokasi Pulau Lepeh sebagai tempat penangkaran buaya, tetapi melihat dari lokasinya, disitu jalur keluar masuk kapal, gelombang cukup tinggi dan pertimbangan lain yang tidak memungkinkan. Kalau di Pulau Hanibung ini lokasinya strategis dan cocok,” ujarnya.
“Hanya saja untuk kapal besar seperti KNP 342 ini perlu menunggu air pasang. Makanya, kita berangkat pagi-pagi sekali. Jam 6 pagi sudah berangkat, jam 7 pagi kita sampai dermaga kondisi air pasang. Kalau kapal wisata yang dikelola Disbudpar masih bisa masuk mengeliling Pulau Hanibung sejauh 8 kilometer,” tambahnya. Untuk menuju Pulau Hanibung ada dua jalur alternatif melalui jalur sungai dengan jarak tempuh kurang lebih 1 jam 30 menit atau melalui jalur darat melewati Desa Camba dengan jarak tempuh sekitar 1 jam. “Dari utara Desa Camba ke Pulau Hanibung naik klotok jaraknya hanya lima menit. Lewat jalur darat juga bisa, lebih cepat dibandingkan lewat jalur sungai. Tetapi, kita harus memastikan jalannya tidak dalam kondisi rusak. Wisatawan nanti tinggal memilih, ingin melewati jalur sungai atau jalur darat,” ujar pejabat yang juga dipercaya sebagagai Rektor Universitas Muhammadiyah Sampit ini.
Pada perencanaan awal ini, Pemkab Kotim akan melakukan survey lanjutan untuk mengetahui pohon apa saja yang tumbuh di Pulau Hanibung, rantai makanan dan satwa apa saja yang hidup di Pulau Hanibung.“Untuk rencana awal, kami perlu membuat survey lanjutan. Perencanaan ini bisa ditindaklanjuti kemungkinan pada anggaran perubahan tahun ini,” ujarnya. Ramadansyah belum dapat memperhitungkan berapa anggaran yang diperlukan untuk pengembangan wisata taman satwa di Pulau Hanibung. Namun, Pemkab Kotim sudah memiliki rencana akan membangun titian jembatan seperti di Pulau Kembang di Desa Alalak, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan yang didalamnya dihuni banyak monyet. “Rencana awal yang pasti perlu survey lanjut, pembangunan titian jembatan dan pembangunan menara pantau,”katanya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pos Jaga Sampit Muriansyah mengatakan bahwa pihaknya sangat mendukung upaya Pemkab Kotim terkait rencana pengembangan wisata taman satwa di Pulau Hanibung. “Setelah kita meninjau ke lokasi, kawasan ini sangat memungkinkan dan layak dijadikan taman satwa,”ujar Muriansyah yang juga ikut serta bersama rombongan Bupati Kotim. Menurutnya, Pulau Hanibung dapat menjadi salah satu kawasan konservasi untuk menjaga kelestarian satwa liar yang ada di Kotim. “Selama ini satwa liar yang ditemukan di Kotim dibawa ke Pangkalanbun dilepas liarkan ke habitatnya, karena di Kotim masih belum ada tempat khusus. Kami berharap kedepannya penemuan satwa liar dilindungi dari hasil penyelamatan atau temuan warga dapat ditempatkan di Pulau Hanibung,” ujarnya.
Dina Patma Sari selaku pawang buaya yang diundang langsung oleh Pemkab Kotim membenarkan bahwa disekitar Pulau Hanibung ada sedikitnya 10 ekor buaya berukuran panjang 2-6 meter. Dina juga telah melakukan ritual pemanggilan buaya. Ilmu yang dimiliki secara turun temurun itu dapat mendatangkan kemunculan buaya. “Setelah ritual tadi, saya melihat ada dua buaya yang muncul ke permukaan. Saya perkirakan ada 10 ekor buaya yang ada disekitar Pulau Hanibung,” ujarnya.
Sementara itu, Kades Camba, Iyansen mengatakan buaya kerap muncul setiap pagi dan sore hari dititik tertentu. “Memang dari dulu sampai sekarang warga sudah biasa melihat kemunculan buaya disekitar Pulau Hanibung. Tetapi, buaya ini tidak mengganggu sampai mendekati lanting rumah warga. Buaya itu hanya menampakan diri saja, terkadang kalau air surut, buaya berjemur dapat terlihat di dataran di Pulau Hanibung,” tandasnya.(**/sla)