SAMPIT – Sekretaris Komisi III DPRD Kotawaringin Timur (Kotim), Riskon Fabiansyah menyoroti pentingnya optimalisasi pengelolaan aset wisata Pantai Ujung Pandaran.
Menurutnya, pantai yang telah menelan biaya pembangunan cukup besar itu tidak boleh dibiarkan terbengkalai tanpa fungsi yang maksimal.
“Ada beberapa hal yang akan kami diskusikan lebih mendalam dengan dinas terkait, khususnya di sektor pariwisata. Kita melihat secara geografis, aset kepariwisataan yang memang perlu didorong ke depannya adalah Pantai Ujung Pandaran. Ini pertimbangannya karena sudah menelan biaya yang tidak sedikit, sehingga akan mubazir jika tidak difungsikan secara optimal,” kata Riskon.
Ia menilai, pengembangan destinasi wisata Ujung Pandaran tidak harus bergantung pada proyek-proyek besar yang membutuhkan anggaran besar pula.
Dari hasil kaji banding ke beberapa daerah, Riskon mencontohkan konsep sederhana namun efektif yang diterapkan di daerah seperti Banyuwangi dan Barito Kuala (Batola).
“Kajian kita di lapangan, di daerah seperti Banyuwangi, pengembangan sektor pariwisata tidak harus dengan proyek yang besar dan rumit. Mereka justru mengemas wisata dengan event tahunan sederhana seperti Festival Layang-Layang, yang pesertanya diundang dari berbagai negara. Ini bisa kita duplikasi di Ujung Pandaran, apalagi budaya main layang-layang ini juga cukup dekat dengan masyarakat kita,” jelas Riskon.
Menurutnya, pelaksanaan event-event sederhana seperti itu lebih realistis dilakukan di Kotim, mengingat tidak membutuhkan infrastruktur mewah dan anggaran yang besar.
Hal tersebut sekaligus akan menghidupkan kembali gairah pariwisata lokal, serta menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
“Kalau kita melihat potensi yang ada di Ujung Pandaran, saya rasa kegiatan seperti Festival Layang-Layang itu sangat memungkinkan. Tidak memakan biaya besar, tapi dampaknya cukup efektif untuk menarik minat wisatawan. Tinggal kemauan dari pemerintah daerah dan dinas terkait untuk menindaklanjutinya,” ujarnya.
Ia menambahkan, model pengelolaan berbasis desa ini dinilai lebih efisien, mengingat keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di tingkat kabupaten yang kerap menjadi kendala dalam pemeliharaan aset wisata.
“Kalau semuanya masih dibebankan ke kabupaten, tentu akan berat karena keterbatasan SDM. Jadi, biarlah desa yang mengelola, agar pengembangan pariwisata bisa disesuaikan dengan potensi dan kearifan lokal mereka. Pemerintah kabupaten cukup fokus pada promosi skala besar. Ini lebih efektif dan realistis,” tegasnya. (ang/fm)