PANGKALAN BUN – Tanggal 29 November menjadi hari istimewa bagi 95 pasangan di Kotawarngin Barat. Mereka melangsungkan pernihakan massal di halaman Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Kobar.
Punadin (72) dan Mirah (70) menjadi pasangan tertua yang ikut nikah massal. Warga RT. 05, Kelurahan Madurejo, ini merasa lega telah memiliki buku nikah yang sah sehingga bisa untuk mengurus kartu keluarga dan lain lain.
Punadin mengaku sudah 46 tahun menjalani hidup bersama Mirah. Karena hanya nikah siri, dia tidak memiliki akta nikah dari KUA.
"Saya sudah memiliki tujuh anak, 15 cucu, tiga buyut. Buku nikah ini akan menjadi kenang-kenangan untuk anak kami," pungkas Punadin.
Kepala BPPKB Kobar Zainah mengatakan, pelaksanaan nikah massal ini merupakan tanggapan atas kondisi para perempuan dan anak yang dalam kedudukan tidak kuat akibat pernikahan siri. Perempuan berada dalam posisi rentan dan dirugikan, karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
Istri menjadi tidak memiliki status yang jelas baik di hadapan negara ataupun di hadapan masyarakat dimana ia tinggal. Akibatnya, kaum hawa sulit memperoleh hak sebagai seorang istri, baik lahir maupun batin, warisan, dan juga akta kelahiran anak.
Nikah massal ini adalah upaya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, sekaligus sebagai upaya pemenuhan hak-hak anak dan sebagai bentuk wujud untuk menghormati dan menghargai status istri.
Peserta nikah massal ini dibatasi 100 orang yang pesertanya dari 10 kelurahan/desa di Kecamatan Arut Selatan. Berdasarkan daftar yang telah dipasang, peserta yang mendaftar cukup banyak. Ada 45 pasang dari Kelurahan Madurejo, 11 pasang dari Mendawai, tiga pasang dari Kelurahan Baru, empat pasang dari Kelurahan Raja, 13 pasang dari Kelurahan Sidorejo, 10 pasang dari Raja Seberang, enam pasang dari Mendawai Seberang, dan tiga pasang dari Pasir Panjang.
Zainah merasa prihatin karena banyak laporan dari kaum perempuan yang merasa dirugikan usai nikah siri. Suatu hari saat anak usia 10 bulan, mereka ditinggalkan dan suami pergi, kemudian anak umur 2,5 tahun suami datang lagi, kumpul lagi dengan keluarga.
"Dalam peraturan pemerintah, dua bulan berturut-turut tidak menafkahi, perempuan bisa menuntut. Sekarang mereka menuntut pakai apa? Dasarnya apa? Tidak mempunyai buku nikah," terang Zainah.
Seharusnya tokoh agama menganjurkan para pasangan jangan hanya sah pada aturan agama, tetapi sah juga pada aturan negara. Pengurusan surat seperti kartu keluarga dan akta kelahiran anak harus menyertakan buku nikah yang sah dari KUA.
"Sekarang ini walaupun bisa membuat akta kelahiran, cuma ada nama ibu, tidak ada nama ayah. Kasian anak, diolok-olok seakan-akan tidak punya ayah, padahal punya ayah," tandasnya.
Kaum istri yang nikah siri juga tidak mempunyai hak atas warisan suami. Untuk itu pihaknya akan memperjuangkan kembali di tahun 2017 mendatang dan seterusnya.
"Kami mohon dukungan semua pihak, baik bapak bupati, maupun DPRD, dengan kondisi kami sekarang, karena kami pemberdayaan perempuan ingin memperjuangkan semua hak," harapnya. (jok/yit)