SAMPIT – Penutupanlokalisasi di Kotim yang rencananya dilaksanakan 5 Desember mendatang terancam gagal. Pasalnya, sejumlah pekerja seks komersial (PSK) Pal 12 Pasir Putih, menolak bantuan pemerintah. Sempat terjadi debat panas antara PSK dan petugas Dinas Sosial yang mendata PSK, Jumat (1/12).
Belasan petugas Dinsos itu datang ke lokasi membawa sejumlah berkas, seperti buku tabungan dan pembelian tiket kapal. Namun, ketika bermaksud meminta tanda tangan tanda bukti penerimaan, banyak yang menolak.
Petugas Dinsos Kotim dan PSK terlihat sama-sama emosi. Sampai akhirnya, berakhir dengan penandatanganan pernyataan menolak bantuan.
”Saya enggak mau terima itu (bantuan). Enggak mau tanda tangan. Tak dapat, tak apa-apa. Saya masih mau kerja (sebagai PSK). Di tempat lain nanti bisa,” kata seorang perempuan berambut panjang dengan wajah cemberut.
Ada beberapa alasan dilontarkan PSK yang menolak bantuan. Pertama, tidak ingin mengikuti prosedur cara pengambilan uang bantuan secara terbuka yang dapat membongkar identitas mereka. Pasalnya, mereka menjadi wanita penghibur tanpa diketahui keluarganya. Jika identitas dibongkar, mereka khawatir sampai ke telinga keluarga.
Kedua, uang bantuan pemerintah belum bisa menjamin kebutuhan hidup mereka yang terlanjur besar. ”(Uang bantuan pemerintah) enggak cukup. Buat bayar kreditan motor saja habis sisanya itu,” tegas salah seorang PSK.
Selanjutnya, sebagian PSK yang mempunyai anak tidak bisa meninggalkan Kotim. Musababnya, buah hati mereka harus melanjutkan sekolah hingga kenaikan kelas.
”Kalau harus pindah sekarang, nanti mereka harus mengulang satu tahun lagi. Tidak apa-apa enggak dapat bantuan. Yang jelas, setelah puasa, Lebaran tahun depan, kami pulang sendiri dengan uang pribadi,” kata IR, seorang PSK.
Ketua RT 08/RW 03 Desa Pasir Putih Markaban menegaskan, dia hanya bisa mengimbau. Semua keputusan diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing PSK untuk menerima bantuan pemulangan itu.
”Saya tidak bisa memaksakan kehendak. Bagi yang menerima, silakan dan bagi yang menolak, saya juga mau apa. Itu hak mereka untuk memutuskan. Saya sudah banyak menyampaikan. Intinya, kembali kepada diri mereka masing-masing,” ujar Markaban.
Menurut Markaban, adanya PSK yang setuju atau menolak rencana penutupan lokalisasi, karena kurangnya komunikasi. ”Keinginan mereka, diajak duduk bersama. Saling menyampaikan pendapat hingga kritik dan saran. Memang, sejauh ini tidak pernah dilakukan seperti itu dalam rencana penutupan lokaliasi. Setiap orang beda-beda. Ada yang mau menerima dan ada juga yang tidak,” tandasnya.
Pemkab Kotim menutup lokalisasi di Kotim demi melaksanakan program pemerintah pusat, sekaligus mengurangi penyebaran penyakit HIV/AIDS. Data dari Januari hingga Oktober, ada sebanyak 46 orang yang mengidap HIV/AIDS di Kotim. Rinciannya, 21 orang laki-laki dan 25 orang perempuan. Di antaranya ada di lokalisasi.
Berdasarkan data yang disampaikan Ketua RT sebelumnya, terdapat 227 PSK di lokalisasi Pal 12 Pasir Putih. Jumlah itu berbeda dengan data Dinsos Kotim yang hanya 160 orang. Namun, jumlah PSK yang akan menerima bantuan kompensasi penutupan lokalisasi sebesar Rp 5 juta lebih pada pertengahan Desember 2017, hanya 88 PSK.
Mengacu data ketua RT, artinya ada 67 orang yang tak masuk data Dinsos. Dua orang sudah pulang ke kampung halaman, sehingga hanya tersisa 65 orang yang tak masuk database.
PSK yang tak mendapat bantuan sebelumnya mengancam tidak akan pergi dari di Lokalisasi. Mereka akan bertahan jika Pemkab Kotim tidak memberikan santunan dan ongkos pemulangan ke daerah asal. (mir/ign)