Rotan pernah perkasa menyangga kehidupan. Sebuah aturan kemudian menghancurkan angan para pemburu hasil hutan. Larangan ekspor rotan mentah membuat petani nyaris menyerah. Mereka berharap ada cahaya di tengah gelapnya perekonomian.
HENY, Sampit
Hangatnya sinar matahari pagi, Jumat (13/3), menemani perjalanan Radar Sampit menuju Kecamatan Kotabesi, Kabupaten Kotawaringin Timur. Motor matik yang ditunggangi wartawan koran ini meluncur mulus di aspal Jalan Tjilik Riwut, ruas Trans Kalimantan poros selatan.
Kecamatan Kotabesi merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Sampit. Jarak tempuhnya sekitar 30 kilometer atau 30 menit berkendara dengan kecepatan rata-rata sekitar 60 km/jam.
Di lokasi, Radar Sampit mengarahkan kuda besi menuju salah satu gudang di Jalan Diponegoro. Gudang itu milik seorang pengusaha rotan yang cukup masyur di wilayah itu.
Setelah menunggu beberapa saat, dua pria mendekat dari kejauhan. Mereka adalah petani rotan yang sedari tadi dinanti, Rahmat Hidayat (30) dan Edi Sugianto (47).
Rahmat warga asli Kotabesi. Dia sudah menjadi buruh tani lepas sejak sepuluh tahun terakhir. Dengan kaos partai berkain tipis dipadu celana panjang hitam, lengkap dengan sepatu bot antiair, sarung tangan, sebilah parang, dan topi kupluk, dia siap menjelajah hutan.
Pria lainnya, Edi Sugianto, paman Rahmat, berpenampilan nyaris sama. Bedanya, Edi mengenakan topi merah. Keduanya memang selalu bersama setiap kali masuk hutan untuk berburu rotan.
Sosok mereka yang supel membuat ayunan langkah kaki Radar Sampit yang membuntuti di belakangnya terasa lebih ringan. Setelah berjalan beberapa meter dan menembus semak belukar, rotan mulai terlihat. Lokasi itu disebut sebagai kebun rotan. Tanaman merambat itu tersebar di beberapa pohon.
Rahmat lalu bersiap mengenakan sarung tangan, alat tempur wajib yang harus dikenakan. ”Sarung tangan ini wajib dipakai. Kalau tidak tangan bisa bahaya, karena rotan itu tumbuhan merambat yang penuh duri. Kalau tidak hati-hati, bisa tertusuk,” ucap Rahmat.
”Selain sarung tangan, obat nyamuk sebenarnya juga wajib dibawa. Di hutan banyak sekali nyamuk yang bisa ganggu kami bekerja,” sahut Edi.
Obat nyamuk yang dimaksud merupakan obat nyamuk batang umumnya yang dimodifikasi agar lebih mudah dibawa. ”Obat nyamuk itu biasa kami ikat di pinggang. Hari ini tak kami bawa, karena masih di area perkampungan. Nyamuknya tidak separah saat kami masuk (lebih jauh) ke hutan,” ujarnya.
Keduanya lalu sibuk bekerja. Rotan yang melilit di pohon langsung dipisahkan. Kulit luarnya dikupas menggunakan parang. Tak semua rotan ada di atas tanah yang nyaman dipijak. Rahmat harus memburu sumber penghasilannya itu sampai ke rawa. Hampir separuh sepatu botnya tenggelam. Namun, dia tetap cekatan memisahkan rotan dari pepohonan.
Ketika matahari kian meninggi, keduanya melepas lelah. Setelah minum beberapa teguk air, Edi menghidupkan sebatang rokoknya. Dia mengisap asapnya dalam-dalam sebelum diembuskan kembali lewat hidung dan mulutnya.
”Inilah rokok yang mampu kami beli. Kami biasa namakan rokok linglat (rokok tembakau kering yang digulung sendiri dengan mengelemnya dengan cara menjilat, kemudian dibakar, Red),” ujarnya seraya memperlihatkan serbuk tembakau yang dikemas dalam bungkus plastik merah bermerek Senang Super seharga Rp 8.500.
”Jadi buruh tani rotan tak semudah yang dibayangkan. Penghasilan sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” tambah ayah dari dua anak ini.
Edi menuturkan, dalam sehari, petani rata-rata mampu menghasilkan sekitar seratus pucuk rotan yang panjangnya sekitar 10-12 meter. Hasil yang mereka dapatkan tak langsung bisa dijual. Para pengepul atau pengusaha rotan biasanya membelinya setiap satu minggu sekali. Sebelum rotan itu dijual, hasil hutan itu direndam di sungai agar kualitas rotannya tak berubah.
Seratus pucuk rotan yang dihasilkan petani bobotnya kira-kira 50-100 kilogram, tergantung ukuran dan panjang batang rotan yang dipanen. Harga rotan basah saat ini yang mampu dibeli pengepul hanya sebesar Rp 2.300 per kg atau Rp 230 ribu per kwintal.
“Kalau buruh tani seperti kami yang tidak punya kebun. Harga rotan Rp 2.300 per kg ini dibagi lagi 50 persen kepada pemilik kebun dan 50 persennya untuk kami (petani),” ucap anak sulung dari lima bersaudara ini.
Artinya, para petani rotan hanya dibayar Rp 1.150 per kg atau Rp 115.000 per 100 kg per hari. ”Itu pun belum tentu sehari dapatnya bisa sampai 100 kg panen. Paling sering panen beratnya sekitar 50-80 kg saja,” tutur Edi.
”Apalagi kalau hari hujan. Selama seminggu ini baru tiga kali bekerja. Hasilnya tak sampai Rp 500.000,” tambahnya.
Edi menuturkan, sejak pemerintah mengeluarkan larangan mengekpor rotan mentah sembilan tahun lalu, kehidupan perekonomian petani sangat terdampak. Harga rotan semakin menurun. Bahkan, hasilnya tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Regulasi yang dimaksud yakni Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 35 Tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Aturan itu secara tegas melarang bahan baku rotan atau rotan mentah dikirim ke luar negeri.
”Dulu kami masih bisa cukup makan dari hasil rotan. Sekarang, bekerja menjadi petani rotan saja tidak cukup. Apalagi kalau tidak sambil mencari pekerjaan yang lain. Bisa-bisa anak istri tak makan,” keluhnya.
Edi berharap harga rotan bisa kembali membaik, sehingga dia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya. ”Kalau larangan ekspor rotan (mentah) tidak bisa dicabut, paling tidak pemerintah bisa cari solusi. Perbaiki harga rotan di kalangan petani. Beli produk rotan saat harga rotan sedang terpuruk. Jangan hanya menutup mata seolah-olah petani rotan tidak ada di sini,” tegasnya.
”Jangan hanya mementingkan pengrajin rotan di Jawa, tetapi petani rotannya tidak diperhatikan,” tambahnya lagi.
Edi menuturkan, dalam proses panen, faktor cuaca menjadi kendala. Apabila hujan, petani tidak bisa memaksakan memanen rotan, karena batang rotan yang masih basah. Di samping itu, rotan yang dikenal sebagai tumbuhan merambat cukup menyulitkan petani karena batangnya menjalar sampai ke atas pohon di sekitarnya, sehingga air hujan bisa menetes hingga mengenai mata.
”Belum lagi semak belukar menjadi tergenang air, sehingga apabila hujan, hampir semua petani tidak ada yang bisa berangkat bekerja,” ucap pria yang sudah menjadi petani rotan sejak tamatan SMA ini.
Situasi mereka yang menggantungkan hidup pada rotan kian sulit ketika wabah virus korona merebak di Cina. Sejak Januari 2020, harga rotan anjlok hingga Rp 230.000 per kwintal.
”Sebenarnya harga rotan sudah turun sejak Oktober 2019 lalu dan sempat naik dan stabil di harga Rp 3.500 per kg. Sejak Januari 2020, harga rotan turun lagi di harga Rp 2.300 per kg,” ujarnya.
Kondisi tersebut membuat petani tak berdaya. Pekerjaan menjadi petani rotan yang merupakan sumber mata pencaharian satu-satunya tak bisa dilepasnya. Meski terlintas dalam benaknya mencari pekerjaan sampingan, namun latar belakang pendidikan yang hanya lulusan SMA membuat Edi kembali memilih mengadu nasib menjadi petani rotan.
”Kami ini bukan PNS yang bisa terima gaji setiap bulan. Kami hanya buruh tani yang tidak punya lahan sendiri. Tidak bekerja sehari, anak istri makan apa?” ucapnya.
Edi mengaku di tengah kondisi perekonomian yang sulit, dirinya tak pernah mendapat bantuan dari pemerintah. Baik berupa bantuan beras atau lainnya. ”Saya juga tidak ingin menuntut apa-apa dari pemerintah. Tetapi saya dan seluruh petani rotan di sini hanya berharap harga rotan bisa membaik dan mampu menyejahterakan perekonomian kami,” ungkapnya dengan raut wajah sedih.
Beban hidup Edi memang lumayan berat. Apalagi tahun ini anak sulungnya berada di bangku sekolah kelas 3 SMK. Sudah beranjak dewasa dan bersiap menghadapi ujian sekolah yang memerlukan banyak biaya.
”Anak saya tahun ini bersiap mau ujian. Waktu itu dia meminta uang ke saya Rp 500 ribu untuk bayar sekolah. Itu pun belum saya penuhi karena uang habis dan hanya cukup untuk keperluan makan sehari-hari,” ujarnya.
Edi berharap pemerintah membantu memperbaiki harga rotan, sehingga mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Paling tidak setara dengan harga 1 kg beras.
”Harga rotan saat ini tidak sebanding dengan harga kebutuhan bahan pokok. Tak bisa disamakan dengan dulu. Dulu uang Rp 50 ribu sangat berharga. Sekarang uang Rp 50 ribu dibawa belanja ke pasar langsung habis,” ucapnya.
”Kami tak menuntut banyak. Kami hanya berharap pemerintah paling tidak bisa membantu menaikkan harga rotan setara dengan harga beras bulog (Rp 11 ribu per kilogram),” tandasnya. (***/ign)