AMDAL (Analisis engenai Dampak Lingkungan) merupakan elemen sangat penting dalam kaitan dengan keberadaan suatu proyek, apa lagi proyek itu bersifat strategis. Namun belkakangan keberadannya sedikit tersingkirkan, baru kemudian manakala proyek atau aktivitas yang seharusnya ada Amdal ini bermasalah, muncul complain tentang keberadannya. Dalam perspektif ini rlevan untuk dicermati bagaimana keberadaan amdal dalam Uu Ciptakerja yang baru saja disahkan dan dipermasalahkan itu. Norma yang dikandung di dalam UU ini sangat penting diceermati sebagai bahan kajian.
Negara dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu melakukan berbagai upaya untuk memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Upaya tersebut dilakukan dengan menciptakan lapangan kerja untuk menampung tingginya angkatan kerja usia produktif di Indonesia.
Salah satu strategi dasar untuk mendukung penciptaan dan perluasan kesempatan kerja antara lain dengan kemudahan pemberian ijin berusaha. Dalam laporan EoDB atau Ease of Doing Business, Indonesia menempati peringkat ke-73 dari 190 negara dalam kemudahan berusaha. Salah satu poin evaluasi untuk Indonesia berasal dari indikator memulai usaha (starting a business). Saat ini, proses memulai usaha di Indonesia masih harus melewati 11 prosedur, jauh di atas rata-rata negara di kawasan Asia Pasifik dan Asia Timur yang sebanyak 6,5 prosedur.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja selanjutnya disebut UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, perbaikan ekosistem investasi serta kemudahan dan pemberdayaan UMK dalam rangka penciptaan lapangan kerja diantaranya dilakukan melalui penyederhanaan perijinan berusaha. Salah satunya perubahan pada ketentuan dan prosedur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjunya disebut AMDAL.
Pembangunan ekonomi suatu negara dalam memenuhi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sangat berkaitan erat dengan pengelolaan sumber daya alam. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang menitikberatkan pada aspek ekonomi dengan tujuan untuk memenuhi hajat hidup manusia menimbulkan permasalahan lingkungan antara lain pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan hidup.
Konsekuensi atas pengelolaan sumber daya alam untuk kegiatan dan manfaat ekonomi maka kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut UUPPLH, diciptakan untuk mengakomodasikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan dan asas keadilan. Dengan disahkannya UU Cipta Kerja atau Omnibus Law beberapa ketentuan dalam UUPPLH terkait dengan AMDAL mengalami perubahan.
Posisi Hukum Sebagai Social Engineering
Roscoe Pound adalah sarjana yang mengemukakan pemikiran mengenai penggunaan hukum sebagai sarana atau alat untuk melakukan rekayasa sosial dengan mengemukakan konsep “law as tool of social engineering”. Pound menyatakan bahwa hukum tidak hanya sekedar dapat digunakan untuk melanggengkan kekuasaan namun hukum dapat berfungsi sebagai alat rekayasa sosial (law as tool of social engineering). Pada konsep aturan sebagai a tool of social engineering yang menyampaikan dasar bagi kemungkinan digunakannya hukum secara sadar buat mengadakan perubahan masyarakat.
Pengertian a tool of social engineering atau social engineering by law, dikemukankan Soerjono soekanto (1977 : 104-105) : aturan menjadi perubahan bagi rakyat, pada arti aturan digunakan menjadi perubahaan oleh agent of change. Agent of change atau pelopor perubahan artinya individu yang bertugas mempengaruhi target/sasaran perubahan agar mereka mengambil keputusan sesuatu dengan arah yang organisasi kehendaki. Agen perubahan adalah orang yang menghubungkan antara sumber perubahaan baik itu inovasi maupun kebijakan organisasi dengan target perubahan. Untuk itu ada sejumlah peran agent of change yang harus dilaksanakan sebagai Change Leader.
Dalam upaya menghadapi berbagai permasalahan hukum dalam menunjang pembangunan sosial ekonomi. Mochtar Kusumaatmadja lebih lanjut menyatakan bahwa “Pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat menuju skenario kebijakan pemerintah (eksekutif) amatlah terasa diperlukan oleh negara-negara berkembang, jauh melebihi kebutuhan negara-negara industri maju telah memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk mengakomodasi perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Sedangkan negara-negara berkembang tidaklah demikian”.
Menurut teori hukum, bahwasanya hukum memainkan peranan yang penting dalam suatu masyarakat, dan bahkan mempunyai multifungsi untuk kebaikan masyarakat, demi mencapai keadilan, kepastian hukum, ketertiban, kemanfaatan, dan lain-lain tujuan hukum. Hukum dalam konteks social engineering yaitu “menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat”. Kepentingan – kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin menghindari benturan dan pemborosan.
Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentingan yaitu kepentingan umum, sosial dan kepentingan pribadi. Dengan pengelompokan yang dibangunnya serta pesan sentral dari pengelompokan semacam itu. Pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang kini dan di sini.
Fokus utama Pound dengan konsep social enginering adalah interset balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Bagi Pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Dan karena kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya bagi dunia sosial, maka tujuan utama dalam social enginering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Menurutnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan.
Hukum sebagai sarana social enginering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan. Mekanisme perubahan sosial dimaksud, merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma baru. Dapat dikatakan, hukum dalam konsep social enginering, sangatlah instrumental sifatnya. Kehidupan sosial, menurut konsep ini dapat dengan mudah dipengaruhi oleh hukum sebagai sistem pengaturan terkendali dan coersif.
Akan tetapi, keadaaan sebaliknya dapat terjadi bahkan sering terjadi, dimana penguasa negara menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat, agar masyarakat dapat dihalau ketempat yang diinginkan oleh penguasa negara. Adapun yang menjadi penunjang atau pendukung atas teori hukum yang dapat merekayasa masyarakat (law as a tool social engineering) yang dikemukakan oleh Rouscou Pound adalah teori tentang efektivitas dan validitas hukum. Kefektifan hukum untuk melakukan perubahan sosial, didasarkan pada pemikiran bahwa hukum sebagai suatu lembaga sosial yang by design sifatnya, sesungguhnyalah merupakan produk kecendekian yang terencana dan sistematis.
Berbeda dengan konsep social control yang dalam perumusan hukum yang ada adalah akibat adanya tingkah laku masyarakat, namun didalam fungsi hukum sebagai social enginering posisi hukum yang ada bukanlah akibat dari keadaan realitas masyarakat yang ada sebelumnya atau sekarang, namun menempatkan posisi hukum sebagai hal yang nantinya akan mempengaruhi masyarakat. Pandangan mengenai fungsi hukum sebagai social enginering dan menganggap perlunya ada rekayasa sosial dengan dalih masyarakat telah usang wajar manakala tetap memperhatikan realita keadaan masyarakat yang akan diubahnya, atau dalam perumusan hukum yang akan digunakan sebagai alat perekayasa sosial melihat dari keadaan realitas masyarakat.
Melihat sebatas apa perubahan yang harus dilakukan dan juga melihat situasi masyarakat yang akan diubahnya. Perumusan yang tidak melihat realitas atau bahkan didasarkan pada pandangan teori Hans Kelsen mengenai pure of law yang meniadakan anasir-anasir politik, sosial, agama, budaya, ekonomi dan lainnya didalam masyarakat dianggap sebagai pereduksi kedudukan hukum. Apabila hal tersebut dilakukan maka dapat menimbulkan adanya pengingkaran terhadap pengaruh hukum terhadap peng-konstitusi-nya yaitu masyarakat yang hanya bersifat otonomi relatif. Dan bisa jadi jika hal tersebut tetap dilaksanakan artinya mengingkari otonomi relatif pengaruh hukum terhadap masyarakat, bukan tidak mungkin nantinya hukum sebagai alat perekayasa sosial dalam penerapannya bahkan ditentang oleh masyarakat yang akan diubahnya. (bersambung)