Masa pandemi Covid-19 belakangan ini, membuat banyak orang lebih peduli dengan kesehatan. Mengkonsumsi madu pun, jadi satu alternatif untuk menjaga agar imun tubuh terjaga. Salah satunya, madu dari Lebah Kelulut.
AGUS JP, Sampit
Madu jenis ini, sudah mulai tidak asing lagi namanya. Di Indonesia biasa juga disebut Madu Klanceng. Sudah tersohor, besar khasiatnya bagi kesehatan. Beberapa warga di RT 02 Kelurahan Tanah Mas Kecamataan Baamang Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), giat mengembangkannya dalam beberapa bulan terakhir.
Hasilnya pun mulai terasa. Selain untuk konsumsi sendiri, sudah mulai dipasarkan melalui kenalan, rekan, dan kerabat. Nampaknya, pelan-pelan tapi pasti madu Kelulut bakal digemari seperti madu jenis lainnya.
Slamet Pramono (43) dan Zaenal (49). Dua pembudidaya Lebah Madu Kelulut setempat, mengaku sekitar 6 bulan belakangan ini memeliharanya.
“Ada teman dari daerah lain juga yang mengajari. Lalu kami cari induk sarangnya di hutan sekitar sini. Kami sebut Topping, tempat ratu lebahnya bersarang. Dari situ lalu lebah lainnya lahir dan menghasilkan sarang tempat madu,” ujar Zaenal dibincangi Radar Sampit.
Diuraikannya, topping ditaruh di dalam potongan batang pohon pilihan berdiameter sekitar 35 sentimeter, panjang sekitar setengah hingga satu meter. Kemudian dibuatkan kotak kayu persegi menyesuaikan diameter batang kayu, untuk tempat lebah membuat sarang.
Banyak sumber menguraikan, lebah Kelulut rata-rata warna hitam, lebih kecil dari lebah madu umumnya. Lebah ratunya bisa juga disebut Lebah Trigona. Berwarna kecoklatan, berperut besar, berukuran 3 – 4 kali lebah pekerja, mirip laron namun sayap pendek. Hewan ini salah satu serangga sosial yang hidup membentuk koloni. Tidak menyengat, hanya menggigit. Dan spesial menghasilkan propolis untuk pertahanan diri (sarang).
Selain itu, perbedaan fisik sarang dengan lebah madu pada umumnya (Apis), sangat terlihat. Sarang lebah madu pesies Apis berbentuk heksagonal. Sedangkan sarang lebah Kelulut berbentuk seperti pot atau kendi bulat, melintang secara horizontal.
Zaenal mengaku, dalam memasarkan Madu Kelulut tersebut, sejauh ini banyak dibantu rekan-rekannya.Baik dari mulut kemulut, ada juga sesekali melalui media sosial. Pihaknya menjual rata-rata paling sedikit per botol isi 50 mililiter dihargai Rp 50 ribu.
“Kita belum berani juga promosi besar-besaran dan memberikan merk, karena produksinya masih terbatas. Selain di jual di sekitar Sampit, ada juga teman yang menjual ke kawasan perkebunan sawit,” ujarnya.
Ke depan, pihaknya terus membenahi dan mengembangkan sarang yang ada. Saat ini dua pembudidaya ini sudah memiliki hampir seratus sarang.
Selain itu mereka juga memiliki keinginan kuat, untuk menyulap tempat budi daya Madu Kelulut tersebut, agar bisa menarik pengunjung.
“Kami ingin membuat semacam taman, di sekitar sarang-sarang lebah itu. Nanti kalau ada orang datang, bisa langsung menikmati madu dari sarangnya langsung,”tambah Slamet.
Menurutnya, lingkungan untuk mengembangkan sarang Madu Kelulut harus terjaga keasriannya dan jauh dari polusi. Baik udara maupun polusi suara. Hal itu, agar sang lebah tidak stress dan produksi madunya lancar.
Seperti di sekitar sarang lebah yang mereka kembangkan. Banyak ditanami kopi. Menurut Slamet, sari bunga kopi termasuk makanan kesukaan Lebah Kelulut. Selain itu ada juga tanaman bunga jenis lainnya, yang biasanya tumbuh di sekitar hutan tempat Lebah Kelulut berasal.
Di sisi lain, selain ingin terus mengembangkan produksi Madu Kelulut secara mandiri, pihaknya juga ingin bermitra dengan instansi terkait pemerintah. Terutama untuk membantu membuka pemasaran dan meningkatkan produksi. ”Kami juga siap berbagi pengetahuan, jika ada yang ingin belajar mengembangkan sarang Madu Kelulut ini. Kami harap, madu ini bisa jadi andalan untuk jadi produk khas daerah kita,” cetus Zaenal. (***)