Desa Hanjalipan selalu menjadi langganan banjir. Bahkan, tahun ini jadi bencana paling parah. Warga kesulitan beraktivitas. Berpijak di atas tanah berselimutkan air yang menggenang.
HENY, Sampit
Perlu waktu sekitar tiga jam menuju Desa Hanjalipan dari Kota Sampit. Ada lima jalur alternatif yang bisa dipilih. Semuanya sulit dilintasi. Sebagian besar harus melintasi jalan perkebunan dengan kontur tanah laterit yang berkelok-kelok dan banyak perempatan (persimpangan).
Salah belok bisa saja tersesat. Hal itu dialami Radar Sampit saat mengunjungi desa tersebut, Kamis (16/9) lalu. Lebih dari tiga kali tersesat karena hanya bermodalkan keyakinan dan bertanya pada pekerja kebun. Pengendara yang melintas bisa dihitung jari. Bahkan, tak ada penunjuk arah menuju desa.
Radar Sampit melintasi jalur alternatif di Jalan Tjilik Riwut Km 42, Desa Jemaras, Kecamatan Cempaga. Memasuki areal perkebunan sawit milik PT Tunas Agro Subur Kencana (TASK) III sekitar 45 km dengan waktu tempuh sekitar 2-3 jam. Jalan itu umumnya paling sering dilewati warga Hanjalipan.
Begitu memasi wilayah Hanjalipan, banjir sudah menyambut dengan ketinggian 20-180 cm. Jalan yang biasanya mudah dilewati kendaraan terendam. Bahkan, Radar Sampit sulit membedakan jalan dan rawa-rawa.
Untuk menuju desa itu, masyarakat harus menyeberangi Sungai Mentaya selebar 300 meter dengan waktu tempuh sekitar lima menit. Namun, karena air sungai pasang, jalan yang biasa dilewati tenggelam, sehingga waktu tempuh menuju desa dua kali lipat lebih lama sekitar 10-15 menit menggunakan kelotok (perahu) warga.
Radar Sampit bahkan tak melihat satu unit kendaraan motor maupun mobil yang lalu-lalang. Bagi warga, kendaraan mereka adalah kelotok. Hampir semua warga memiliki alat transportasi itu.
Selama banjir melanda, warga tak bekerja. Hanya berharap bantuan donatur dan pemerintah. Warga dengan senang hati menyambut paket bantuan yang dibawa menggunakan kelotok menuju Desa Hanjalipan.
Selain banjir, banyaknya bangunan menjulang tinggi juga menyita perhatian Radar Sampit. Ada puluhan unit yang berdiri megah di tepian Sungai Mentaya. Bangunan itu merupakan bisnis warga, yakni sarang burung walet.
Kondisi itu kontras dengan rata-rata rumah warga. Warga setempat rela merogoh kocek ratusan juta untuk membangun rumah walet berkonstruksi beton. Ada pula yang semi beton dan seng. Sementara rumah warga sebagian besar hanya berkonstruksi kayu. Bahkan, banyak yang sebenarnya tak layak huni.
Salah satunya kediaman pasangan suami istri Ahmad Basahil (54) dan istrinya Zuairiyah (50). Rumah kayu itu seperti tak bisa disebut rumah. Lebih cocok disebut pondok. Bahkan, untuk beristirahat pun kurang aman.
Bangunannya tak luas. Ada satu kamar tanpa pintu yang terendam banjir. Ruang tamu yang sempit dijadikan tempat untuk beristirahat. Ruang tengah menyatu dengan dapur. Lantai papan banyak berlubang.
Rumah itu berkonsep rumah panggung, namun tetap saja tenggelam. Dari tanah, air menggenang di ketinggian sepinggang orang dewasa.
Saat dijumpai Radar Sampit di ruang tamunya, Zuariyah sedang bersama bayi yang masih sangat mungil dengan pipi kemerahan. Wafa Adzkiya namanya. Cucu Zuariyah yang lahir 9 September 2021 lalu.
Bayi itu lahir dalam situasi banjir. Meski sang bayi selamat, ibu bayi, anak Zuariyah, meninggal dunia setelah melahirkan. Bayi itu dirawat sang ayah, Reza (19), bersama Zuariyah.
Meski bencana tahun ini kembali menyapa, Zuariyah tetap bersyukur. Masih banyak masyarakat yang peduli dengan menyalurkan bantuan.
”Saya sangat berterima kasih kepada semua warga di Sampit yang sudah membantu saya dan keluarga kami. Semoga warga Sampit yang selama ini membantu warga Desa Hanjalipan tanpa henti selama banjir, selalu diberikan rezeki berlimpah,” kata wanita yang sudah memiliki tujuh cucu ini.
Senada dengan istrinya, Ahmad mengatakan, bantuan dari masyarakat sangat berharga bagi keluarganya. ”Mau ke kota lumayan jauh. Paket bahan pokok ini sangat membantu warga. Apalagi selama banjir ini hampir semua warga di desa tak bisa bekerja,” katanya usah menerima bantuan dari Owner Serba Harga Murah Girl (SHMG) bersama rombongan yang mengunjunginya.
Ahmad sendiri berprofesi sebagai nelayan. Selama 28 hari, bahkan hampir sebulan sejak banjir dari luapan Sungai Mentaya melanda, dia kesulitan mencari ikan.
”Sulit mencari ikan kondisi pasang seperti ini. Banyak warga kami bekerja sebagai nelayan. Mencari uang dari hasil menjual ikan,” katanya.
Meski demikian, tak sedikit warga yang memiliki usaha menjual sarang walet. Satu ons sarang walet dihargai Rp 800 ribu-Rp 1 juta. ”Saya akui, saya punya walet di belakang rumah. Setiap dua minggu sekali bisa panen Rp 1,5-2 juta. Hasil itulah yang membuat kami bertahan hidup,” kata pria yang memiliki enam orang anak ini.
Sebagai warga asli Desa Hanjalipan, Ahmad merasa nyaman tinggal di tanah kelahirannya sekarang. Meski banjir tak pernah absen menenggelamkan rumahnya, dia mengaku berat meninggalkan kampung halaman. Meski untuk sekadar pindah ke seberang yang datarannya lebih tinggi.
”Saat ini tidak ada niatan pindah, karena nenek, orang tua saya semua orang asli sini. Saya sudah nyaman tinggal di desa. Walaupun sering banjir, kami sudah terbiasa menghadapinya,” tandasnya. (***/bersambung/ign)