Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) patut berbangga dengan keberadaan spesies ikan Channa Marulioides yang ditemukan di perairan Kotim. Kelompok ikan gabus hias, terutama spesisies Channa Red Marulioides ini disebut-sebut sebagai satu-satunya di dunia yang ditemukan hidup di perairan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Para kolektor penggemar ikan gabus hias bahkan rela merogoh kocek mulai dari Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah hanya untuk mendapatkan ikan gabus yang bercorak indah, berani, dan memiliki tubuh yang menyalak ini.
Penjual Ikan Channa Marulioides Desse Arbarianto, khawatir apabila ikan gabus hias ini punah suatu saat nanti. Karena itu, Desse mengusulkan pembatasan ukuran pengiriman Channa Marolioides ke Balai Karantina Ikan Wilayah Kerja Sampit pada Desember 2021 lalu. Usulannya ditindaklanjuti melalui rapat bersama yang dihadiri Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu Dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Palangka Raya, Polres Kotim, Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kotim, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kotim pada akhir tahun 2021.
”Dari hasil rapat itu, Pemkab Kotim mengusulkan agar membentuk asosiasi. Asosiasi sudah kami bentuk 8 Januari 2022 dengan nama Asosiasi Penjual Ikan Channa Kalteng (Sapakat) yang diketuai saya sendiri dan Rio Pramana sebagai sekretarisnya yang beranggotakan 22 orang, termasuk pengurus,” ujar Desse saat ditemui Radar Sampit di Kafe 88, Jumat (1/4).
Desse mengatakan, asosiasi dibentuk sebagai wadah komunikasi dan konsolidasi sesama penjual agar tercipta hubungan yang baik dan memiliki payung hukum yang diakui pemerintah dan negara. ”Sebanyak 22 anggota yang tergabung dalam asosiasi ini tersebar di wilayah yang menghasilkan ikan Channa Marulioides, seperti Kotim, Seruyan, Kotawaringin Barat, Buntok Barito Selatan, dan Kota Palangka Raya. Ke depannya kami berharap dapat melaksanakan usaha di bidang perikanan agar bisa terus berkelanjutan dan konsisten serta menjadi langkah serius dalam menjaga habitat dan kelestarian alam, yang mana ini juga berpengaruh terhadap pekerjaan kami,” katanya.
Setelah dibentuknya Asosiasi Penjual Ikan Channa Kalteng (Sapakat), Desse mengajukan surat ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Surat tersebut berisi usulan pengajuan terkait pengiriman pembatasan ukuran ikan Channa Marulioides. Melalui asosiasi itu pula, Desse bersama anggota lainnya melakukan musyawarah untuk menentukan batasan ukuran pengiriman, penjualan, hingga penjualan di dalam negeri sampai luar negeri.
”Melihat tren yang berkembang saat ini dan demi menjaga kelestarian spesies ikan maru, kami sepakat mengajukan pembatasan pengiriman species Channaa Marulioides, yaitu ukuran dari 6-70 cm saja. Untuk ikan anakan minimal ukuran 6 cm, toleransi kurang lebih 0,5 cm dan untuk dewasa maksimal ukuran 70 cm, toleransi kurang lebih 0,5 cm,” ujarnya.
Usulannya ditanggapi KKP melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Pontianak, Kalimantan Barat pada 25 Maret 2022. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa ikan gabus maru tidak termasuk dalam daftar jenis ikan yang dilindungi secara nasional, baik status perlindungan oleh Kelompok Kerja Perlindungan Biota Perairan Terancam Punah Prioritas – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Sebagai pemanfaatan di lapangan, pelaku usaha diarahkan merujuk kepada Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 715/KEP/BSN/12/2021 tentang Pedoman SNI 9022:2021 Ikan Hias Gabus Maru.
Dalam pedoman SNI tersebut diatur ukuran dan mutu ikan yang dipasarkan, baik lokal maupun ekspor, sehingga dapat mengurangi aktivitas penangkapan yang tidak terkendali akibat permintaan pasar, serta dapat mendukung kelestarian ikan gabus maru. ”Kita sadar ikan Channa Marulioides tidak dilarang dan bukan termasuk jenis ikan yang dilindungi. Tetapi, kalau hal seperti ini saja tidak disikapi dengan peka, apakah harus menunggu ikannya punah dulu baru muncul aturan?” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Desse, dalam pedoman SNI juga tidak menyebutkan adanya pasal sanksi apabila mengirim ikan di luar ketentuan pedoman SNI. ”Dalam ketentuan pedoman SNI tidak ditegaskan. Dalam aturannya, yang boleh dikirim di bawah 10-50 cm. Misalnya ada oknum yang mengirim ikan di luar dari pedoman SNI, apa itu dibiarkan saja? Karena tidak ada penjelasan mengenai sanksi yang diatur di dalamnya,” ujarnya. ”Dari pihak karantina saja bingung mengartikan keputusan pedoman SNI untuk mengaplikasikannya di lapangan. Bingungnya, karena tak ada pasal yang mengatur mengenai sanksi,” tambahnya.
Desse berharap pemerintah pusat lebih peka terhadap usulan permohonan yang bertujuan memberikan tindakan pencegahan agar spesies ikan Channa Marulioides tidak punah di kemudian hari. ”Saya berharap dari pihak KKP lebih peka menanggapi permohonan tindakan preventif yang kami usulkan, karena kami yang lebih memahami situasi di lapangan. Dari tahun ke tahun populasi ikan ini semakin menurun, maka perlu adanya tindakan preventif yang dilandasi aturan dan diakui pemerintah melalui pengiriman pembatasan ukuran ikan supaya spesies ikan Channa Marulioides tidak terancam punah,” tandasnya. (hgn/ign)