(Penulis: Larisa Hardianti, S.Pd. Barito Kuala, Maret 2020)
Tahun 2017 begitu indah saat wisuda bagi para mahasiswa Pendidikan Luar Biasa tahun 2013. Salah satu mahasiswanya mencari pekerjaan dengan menghubungi dan mendaftarkan diri pada salah satu sekolah didekat tempat tinggalnya.
Hari pertama memasuki sekolah, wajahnya berbinar dan terkagum melihat betapa cerianya wajah para siswa-siswi yang memakai baju seragam putih dan memakai celana merah. Betapa senangnya para orang tua yang dengan bangga mengantarkan anak nya dengan harapan akan ada perubahan untuk masa depan anaknya kelak. Hari itu pengalaman pertama untuk anak nya setelah mengemban ilmu selama 4 tahun.
Dibenaknya mengajarkan anak-anak sesuai dengan teori yang dipelajari adalah mudah. Dia terus belajar dan mengamati serta mencari ilmu kepada rekan senior yang ada di sebelah kelas. Berlalu beberapa hari rutinitas ini tetap sama dijalankannya. Tanpa disadari memberikan pembelajaran membaca menulis dan berhitung bukan perkara mudah untuk membuat anak dengan hambatan Tunagrahita memahami materi tersebut.
Hari demi hari berlalu dengan senang dijalaninya, pada suatu hari ia terkejut melihat salah satu anak didik yang tidak bisa mengganti baju sehabis memakai baju olahraga. Murid itu menangis ketika melihat siswa lain sudah berganti pakaian dengan seragam sekolah. Dia terkejut dan bingung karena selama 1 minggu dijalaninya belum ada siswa yang menangis kencang seperti ini. Disadarinya siswa menangis karena belum mampu memasang baju sendiri.
Dari kejadian ini dia menyadari pentingnya pembelajaran bina diri untuk anak dengan hambatan intelektual, yang mana bekal itu akan berguna untuk mereka dimasa akan dating. Bekal dari kejadian tersebut, sekarang ia mulai paham bahwa harus berbanding samanya antara bina diri dan calistung dalam memerdekakan anak berkebutuhan khusus.