Bau anyir politik uang dalam pesta demokrasi tahun depan sudah mulai tercium. Aroma praktik lancung pemilu itu bakal kembali dimainkan terendus dari adanya gerakan tim sukses bakal calon anggota legislatif yang gerilya pendataan hingga inventarisasi pemilih. ”Sudah mulai ada yang datang ke rumah mengajak untuk jadi bagian dari tim sukses salah satu nama bakal caleg,” kata Tasman, warga Baamang.
Tasman menuturkan, cara itu dilakukan dengan pendekatan melalui komunitas dan jalur keluarga. Orang yang mengaku tim sukses itu mengajak untuk menjadi tim pemenangan dalam Pemilu 2024. ”Yang pertama ini masih penjajakan. Dibawa untuk mencari sepuluh orang anggota keluarga dan dicekkan namanya masuk dalam pemilih atau tidak. Selanjutnya dibina sampai tahun 2024,” katanya. Bakal caleg yang akan dimenangkan, lanjutnya adalah pendatang baru dari salah satu partai besar. Namun, dia merahasiakan identitas bakal caleg tersebut.
Catatan Radar Sampit, pola perekrutan demikian terjadi dalam Pemilu 2019. Modus ini digunakan untuk menyebarkan politik uang. Setiap tim sukses akan melakukan perekrutan terhadap pemilih, bahkan menggunakan sistem jaringan. Koordinator perekrutan merupakan eksekutor di lapangan. Sosok itu yang akan menjadi kaki tangan oknum caleg untuk membagikan uang kepada pemilik suara. Pada 2019 lalu, satu suara dihargai hingga Rp200 ribu. Apalagi untuk caleg yang berpasangan, mulai dari kabupaten hingga DPRD provinsi, nominal hingga Rp250 ribu per suara. Pemerhati politik di Kotim Bambang Nugroho berkeyakinan pengaruh politik uang masih besar pada Pemilu 2024. Hal tersebut menjadi tantangan besar penyelenggaraan pemilu selama ini. Salah satu indikatornya, karena impitan ekonomi, sehingga akan menjadi ruang terjadinya politik uang. Menurut dia, pemilih rasional cenderung sedikit dalam pemilu. Pasalnya, pendidikan politik masih tidak maksimal dilakukan. Tingkat kecerdasan pemilih memang meningkat, namun masih banyak persoalan kesejahteraan yang jadi objek pelaku politik uang.
Selain itu, lanjutnya, pemilih generasi muda yang jumlahnya hampir 30 persen pun belum jaminan bisa jadi generasi yang terbebas dari politik uang. Karena itu, dalam pengawasan pemilu, Bawaslu harus lebih maksimal lagi. Persoalan lain, kata Bambang, Bawaslu dan aparat lainnya belum mampu menjangkau wilayah transaksi politik uang. Buktinya, tahun 2019 yang terkenal dengan masifnya politik uang, tidak ada satu pun bisa diseret ke pidana pemilu.
”Jadi, politik uang ini ada peristiwanya, tetapi sulit untuk diungkapkan. Ini jadi pekerjaan rumah besar bagi Bawaslu Kotim tahun 2024, baik di pemilu legislatif hingga kepala daerah,” katanya. Menurutnya, akibat politik uang, pemimpin dan wakil rakyat yang muncul sangat meragukan, karena belum tentu sesuai aspirasi rakyat. Tidak jarang produk politik uang melahirkan oknum pejabat yang cenderung mengabaikan kepentingan orang banyak hingga aspirasi publik dalam berbagai bidang. (ang/ign)