Aksi panen massal sawit di areal perkebunan perusahaan di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Seruyan jadi atensi aparat kepolisian. Patroli skala besar digelar untuk mencegah berulangnya penjarahan. Polisi juga menyelidiki dugaan tindak pidana dalam kasus itu. Kepala Bidang Humas Polda Kalteng Kombes Pol Erlan Munaji, Selasa (20/12/2023), mengatakan, polisi berupaya mengantisipasi aksi penjarahan kelapa sawit melalui patroli dan menekankan masyarakat agar tidak terprovokasi hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban. ”Kami melakukan langkah pendekatan berupa patroli, melakukan dialog dengan masyarakat, dan stakeholder terkait untuk menjaga situasi kamtibmas di Kalteng,” katanya.
Menurut Erlan, aksi penjarahan masih didalami, lantaran para pelakunya selalu beralih tempat. Di sisi lain, pihaknya juga berusaha mendalami latar belakang aksi serentak tersebut. Dia mengajak semua pihak untuk sama-sama menjaga kamtibmas dan tak terprovokasi hal yang dapat merusak situasi.
”Jika ada pelanggaran hukum, tentu aturan hukum akan ditegakkan,” tegasnya, seraya meminta masyarakat Kalteng ikut menjaga iklim investasi guna mendukung percepatan ekonomi nasional dan pertumbuhan ekonomi lokal. Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah menilai, maraknya konflik antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat lokal merupakan buah ketimpangan penguasaan lahan dan sumber penghidupan di wilayah itu. ”Ada masalah mendasar di Kotim dan Seruyan terkait ketimpangan penguasaan lahan antara perusahaan dengan masyarakat. Sudah tidak banyak lagi lahan yang bisa dikelola warga untuk mencukupi kebutuhan hidup atau ekonomi mereka, karena diberikan untuk izin perkebunan sawit,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herianata.
Menurut Bayu, ekspansi industri kelapa sawit yang terus meluaskan arealnya, membuat masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi demikian diperparah dengan abainya perusahaan menjalankan kewajiban terhadap masyarakat sekitar berupa plasma.
”Salah satu hal yang harusnya dijalankan terkait pergantian sumber ekonomi kepada masyarakat terdampak berupa kewajiban perusahaan membangun kebun plasma tidak berjalan baik. Hal ini berkontribusi terhadap tingginya konflik yang juga terjadi di dua kabupaten tersebut,” ujar Bayu. Dari catatan Walhi, dalam beberapa konflik yang pernah ditangani pihaknya dengan mendampingi masyarakat, upaya mendesak perusahaan dilakukan dengan beragam cara. Mulai dari penghentian operasional perusahaan hingga aksi massal lainnya. ”Penghentian operasional perusahaan sampai pemanenan massal adalah upaya untuk mendesak perusahaan dan pemerintah agar segera menyelesaikan konflik yang ada dengan merealisasikan plasma yang menjadi hak masyarakat,” katanya.
Menurutnya, kasus panen massal bisa saja dicegah asalkan pemerintah betul-betul serius menegakkan aturan berinvestasi. Di antaranya penyelesaian kewajiban terhadap masyarakat lokal. ”Seharusnya hal seperti ini bisa direspons segera oleh pemerintah dengan mendesak perusahaan dan memfasilitasi tuntutan warga agar konfliknya selesai dan fenomena panen massal atau penjarahan bisa ditekan atau dihentikan,” katanya. (daq/ang/ign)