Wakil Ketua DPRD Lamandau Budi Rahmat meminta Dinas Pendidikan Provinsi Kalteng mengevaluasi Kepala SMA 1 Nanga Bulik. Pasalnya, ada salah satu siswa yang dikembalikan ke orangtuanya dan tidak diberikan kesempatan menuntaskan pendidikan karena sering bolos. ”Kabupaten Lamandau tidak memerlukan guru dan kepala sekolah yang arogan. Guru harus bisa jadi pendidik. Bagaimana anak yang bermasalah bisa diluruskan menjadi lebih baik lagi, bukannya justru diputus kesempatannya untuk bersekolah,” katanya.
Menurutnya, anak dimaksud memang sering tidak masuk saat jam pelajaran alias membolos, sehingga akhirnya dikeluarkan alias dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, orang tuanya ingin agar anaknya bisa dididik lebih baik. Jika perlu, diberi pelajaran tambahan atas ketertinggalan pelajaran. Sang anak juga masih memiliki keinginan untuk melanjutkan sekolah. ”Namun, pihak sekolah tidak mau menerima lagi. Mereka menyarankan untuk pindah sekolah. Sudah diupayakan pindah, tapi sekolah yang dituju tidak bisa menerima lagi siswa pindahan kelas 12. Anehnya kepala sekolah justru menyarankan supaya paket C,” katanya.
Dia tidak menginginkan banyak anak yang nantinya putus sekolah akibat arogansi pihak sekolah. Budi berharap Dinas Pendidikan Kalteng menarik kepala sekolah dimaksud untuk diberi pengetahuan etik dan moral sebagai pendidik. Saat dikonfirmasi, Kepala SMAN 1 Nanga Bulik Akhmad Jarkani mengatakan, keputusan mengembalikan siswa kepada orang tuanya merupakan hasil kesepakatan dan keputusan bersama sejumlah guru terkait, seperti wali kelas, guru mata pelajaran, dan guru BK.
”Saya yakin prosesnya sudah dilalui dengan benar. Siswa bersangkutan bermasalah dalam hal kehadiran dan permasalahan ini berulang bertahun-tahun. Kami juga telah berupaya melakukan pembinaan berkali-kali,” tegasnya. Pihaknya mengembalikan anak tersebut setelah melakukan tiga tahap proses pembinaan, namun tidak ada perubahan. Sesuai tata tertib sekolah, anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya dengan catatan, boleh mengajukan pindah ke sekolah lain.
”Jika tetap bertahan, anak tersebut juga tidak memiliki nilai semester ganjil, sementara salah satu persyaratan kelulusan adalah memiliki nilai dari semester 1 hingga 6 dan sekarang sudah tidak ada lagi ujian sekolah dan ujian nasional, sehingga penilaian harian selama menempuh pendidikan sangat penting,” tegasnya. Dia menyarankan siswa tersebut menempuh Paket C jika tidak ingin sekolah formal, karena Paket C statusnya setara ijazah SMA pada umumnya. Tetap diterima perguruan tinggi maupun dunia kerja.
”Memang ada anak-anak yang tidak sanggup atau karena kendala tertentu tidak bisa ikut belajar di sekolah formal. Maka paket C jadi solusi,” ungkapnya. Dia menegaskan, sebelum diterima sebagai siswa di SMA 1, semua telah mengetahui dan membuat pernyataan bahwa ada tata tertib sekolah yang wajib dipatuhi semua warga sekolah. Salah satunya, jika 3 kali alpa tanpa keterangan orang tua, siswa akan dipanggil.
Apabila siswa lebih dari 10 kali tanpa keterangan dalam satu semester, akan dikembalikan ke orang tuanya. ”Nah, yang bersangkutan dalam semester ganjil tadi saja sudah lebih dari 20 kali tanpa keterangan. Kami juga sudah melakukan pembinaan dan toleransi kelonggaran. Yang bersangkutan juga membuat pernyataan siap mengundurkan diri jika masih mengulangi kesalahannya. Tapi, tetap tidak ada perubahan,” katanya. Akibatnya, banyak materi pelajaran yang tertinggal dan tidak memiliki nilai di semester ganjil. Hal ini dikeluhkan hampir semua guru mata pelajaran. ”Kalau dibiarkan akan menjadi contoh bagi siswa lain, bahwa kami melakukan pembiaran terhadap pelanggaran tata tertib sekolah. Kami tidak ingin siswa putus sekolah. Namun, kami telah berupaya semaksimal mungkin. Kalau memang jadi kesalahan kami, kami siap menerima risikonya,” tegasnya. (mex/ign)