SAMPIT – Ketua Komisi I DPRD Kotim, Handoyo J Wibowo menuding banjir yang terjadi akibat pembukaan lahan secara sporadis, terutama di kawasan hulu Kotawaringin Timur. Akibat resapan air hujan yang hilang, sehingga langsung mengalir ke anak sungai dan mengakibatkan luapan. Warga pun jadi korban.
“Banjir terjadi karena memang sudah tidak ada lagi daerah resapan, Kotim mulai krisis hutan, makanya kita minta penegasan untuk tidak membuka lahan baru, di hulu Kotim menunjukkan tanda-tanda terjadi bencana,” kata Handoyo kepada Radar Sampit, Selasa (30/5) kemarin.
Handoyo mengatakan selain karena curah hujan yang tinggi, faktor lain yang menyebabkan banjir adalah minimnya perbaikan infrastruktur seperti sungai, danau dan sebagainya oleh dampak pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
“Terlebih lagi tidak berfungsinya lagi secara optimal hutan yang tersisa di Kotim. Hutan sudah gundul dan beralih fungsi menjadi kebun sawit,” terangnya.
Handoyo menambahkan dalam melakukan penanggulangan banjir hampir tidak ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mau membuat sipil teknis (saluran penyerap air) di sekitar lahan.
Akibatnya ketika musim hujan turun , air langsung meluap dan menghampiri pemukiman warga.
Beber Handoyo, luasan hutan di Kotim saat ini sudah menipis dan tidak berfungsi dengan baik, sehingga bila terjadi hujan dengan intensitas tinggi, banjir akan mudah terjadi.
Kotim memiliki luas wilayah 16.496 kilometer persegi, dihuni 400.658 jiwa. Dan saat ini terancam tidak memiliki hutan cadangan, sebab yang tersisa hanya 25 persen dari total luasan hutan sebelumnya.
Idealnya kawasan hutan yang tersisa minimal 40 persen. Sedangkan 60 persennya digunakan untuk kawasan investasi kehutanan dan perkebunan, termasuk juga permukiman.
Berdasarkan peta 2529, kawasan hutan di Kotim sebenarnya masih ada sebesar 70 persen. Namun dengan adanya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit, maka sisanya sekarang tinggal 30 persen dari 1.554.456 hektare total luas wilayah Kotim. (ang/fm)