Mbah Samini. Demikian wanita lebih setengah abad itu disapa. Dia merupakan saksi hidup pembangunan RSUD dr Murjani Sampit sejak puluhan tahun silam. Nenek itu sangat mengidolakan Bupati Kotim Supian Hadi. Bagaimana kehidupannya? Berikut liputannya.
HENY, Sampit
Dari jarak sekitar satu setengah meter, sorot mata Supian Hadi menarik perhatian seorang wanita renta. Usai peresmian gedung Pelayanan Terpadu dan Instalasi Bedah Sentral RSUD dr Murjani Sampit, Supian melanjutkan dengan melayani sesi wawancara dari awak media.
Penyampaiannya tiba-tiba saja terhenti setelah mengamati nenek yang memotretnya dari kejauhan menggunakan ponsel pintar. Saat itu Samini berusaha mengambil gambar Supian dengan mata mengerut karena penglihatannya yang sudah tak begitu jelas. Dia mengenakan kerudung hitam polos, baju abu-abu terang, dan celana putih yang nampak bernoda.
Supian langsung memanggilnya. Sesi wawancara terhenti dan Supian justru mewawancara nenek itu. ”Kenapa nenek memfoto? Sini datang mendekat nek,” ujar Supian sambil menyambut pelukan nenek.
Suasana berubah haru ketika Supian yang tak risih mendekap tubuh Samini. Sambil berpelukan, nenek itu berkata, ”Saya sudah lama ingin ketemu sampean Pak Bupati.”
Kalimat itu terus diulangnya karena dia merasa tidak percaya keinginanannya bertemu orang nomor satu di Bumi Habaring Hurung akhirnya terwujud. ”Saya nyesal baru ketemu pian sekarang. Senang sekali ketemu sampean,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
”Saya orang susah pak, tidak punya apa-apa. Kerja saya enggak menentu,” katanya menjawab pertanyaan ringan Supian.
Samini akhirnya mendapatkan foto terbaiknya, foto bersama Supian tepat di depan halaman gedung baru rumah sakit. Bahkan, saat Supian mengunjungi ruang IGD RSUD dr Murjani Sampit, Mbah Samini juga ikut mengiringi langkah sang bupati.
”Sini Mbah saya bantu foto bersama Bupati ya,” kata Siti Fauziah, Direktur Radar Sampit yang ketika itu juga berada di dekat Bupati Kotim.
Lebih lanjut, Mbah Samini mengajak Radar Sampit ke rumahnya. Persis di sebelah gedung baru rumah sakit. Tepatnya di gang Batu Marmer Jalan HM Arsyad.
Radar Sampit dituntun melewati gang selebar satu meter menuju bangunan gubuk kayu. Bangunan seluas 12 meter x 12 meter itu telah dihuninya selama kurang lebih 51 tahun sejak 1970-an. Bahkan, Mbah Samini masih mengingat sejarah perjuangan pembangunan rumah sakit dari nol hingga terlihat semegah sekarang.
”Saya merantau dari tahun 1970 tinggal di sini. Beli punya kawan Rp 7 juta dulu. Dulu di sini belum seramai sekarang. Belum ada motor. Rumah sakit dulu juga minim penerangan sampai sekarang bisa semewah ini,” kata Samini sambil menatap bangunan gedung baru rumah sakit yang berada di samping rumahnya.
Rumah Samini menghadap ke arah utara dan berada sangat dekat dengan bangunan gedung baru (menghadap ke arah timur) dan hanya dibatasi seng. ”Dulu saya sering bantu nolongin pasien. Saya manggilin dokter-dokter supaya lekas ditangani,” ujar nenek kelahiran Blitar, 5 Juli 1951 ini.
Di usia yang sudah mendekati 70 tahun, Samini masih mengingat perang tembakan yang terjadi di Samuda hingga membuat seorang komandan meninggal dunia. ”Saya enggak tahu perang apa. Sudah lupa. Yang saya ingat itu sampai terjadi di Samuda dan komandannya meninggal dunia,” kenangnya.
Selain mencari botol sampah, Samini juga menjadi tukang pijat. Radar Sampit diajak masuk ke ruang tamu. Terlihat ada poster foto dengan kertas kusam bergambar perempuan. Foto itu merupakan dirinya ketika masih muda dan dipajang di dinding kayu dari dulu hingga sekarang.
”Kerjaan saya ini tidak menentu. Kadang-kadang cari botol sampah, kalau capek yang jadi tukang pijat. Apa aja yang penting bisa dikerjain,” ujar nenek yang tidak punya anak ini.
Mbah Samini hidup sebatang kara. Meskipun cucu dari keponakannya tinggal serumah. Namun, cucunya sibuk bekerja sehingga jarang pulang. ”Tak punya anak. Ada cucu dari keponakan saya, tapi sibuk kerja jarang pulang,” ujarnya.
Dia lalu menceritakan keinginannya menemui Supian Hadi. ”Saya ini sudah kenal dekat dengan Pak Bupati, mantan istrinya dulu yang tinggal di Seruyan itu pernah manggil saya untuk pijat. Saya dijemput pembantunya dari situ saya kenal Bupati,” ujarnya.
Peringatan HUT Kotim yang ke-68 sekaligus menjadi momen sejarah peresmian gedung baru oleh Bupati Kotim. ”Saya tahu kabar kalau hari ini peresmian gedung (rumah sakit) saya tungguin Pak Bupati sampai keluar (dari gedung),” ujarnya sambil melihat hasil foto di ponsel yang diperolehnya dari pemberian pedagang roti dekat rumahnya.
Dia juga ingat suatu hari ada acara di wilayah Kecamatan Baamang. Ketika itu acara juga dihadiri Bupati Kotim. ”Padahal banyak perempuan cantik. Bupati malah panggil saya dan meminta saya mendekat. Pak Bupati juga melarang saya duduk di bawah. Dari situ saya senang sekali dengan Pak Bupati. Orangnya baik dan sopan sama orang tua,” katanya.
Mbah Samini terus menatap gawainya dan merasa tidak menyangka bisa berfoto dan bertemu langsung dengan idolanya. Dia lalu meloncat-loncat kecil sambil berkata, ”Alhamdulillah, iyes, iyes, bisa ketemu Bupati Kotim. Saya doakan Bupati sehat dan panjang umurnya supaya bisa ketemu lagi,” tandasnya. (***/ign)