SAMPIT – Gugatan yang diajukan petani sawit dari Desa Ayawan, Kabupaten Seruyan, dinilai sebagai upaya untuk mempertahankan hak masyarakat setempat. Hal tersebut juga bentuk perlawanan terhadap korporasi yang berniat menguasai lahan warga yang dikuasai secara turun-temurun.
Abdul Fatah menggugat Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan Seksi Wilayah I Palangka Raya di Pengadilan Negeri Sampit lantaran lahannya dinilai masuk dalam kawasan hutan dan dia sempat diamankan karena dituding menggarap hutan.
”Gugatan ini kami layangkan karena KLHK mengklaim kawasan hutan (di lahan Abdul Fatah). Padahal, sejak tahun 1979, masyarakat sudah menguasai dan mengelola areal itu. Apalagi di situ ada perusahaan HTI (hutan tanaman industri) yang mengincar lahan masyarakat. Jadi, tidak menutup kemungkinan perusahaan itu nanti akan mengklaim lahan warga lainnya,” kata Renda Ardiansyah, kuasa hukum Abdul Fattah.
Renda meyakini pihaknya memiliki peluang memenangkan gugatan tersebut. Apalagi setelah melihat fakta persidangan yang terus berjalan. ”Kami menarik beberapa kesimpulan, bahwa peta itu sendiri bukan peta penetapan, tapi penunjukan. Kami punya keyakinan 90 persen menang dalam gugatan ini,” tegasnya.
Sementara itu, dalam lanjutan sidang di Pengadilan Negeri Sampit, BPPHLHK menghadirkan ahli dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan KLHK di Palangka Raya, Muldoyanto. Dia merupakan ahli terkait penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan.
Menurutnya, areal kawasan hutan ditentukan oleh kementerian. Untuk mengetahui itu sebagai kawasan hutan, bisa menggunakan aplikasi dengan mengambil titik koordinatnya.
Penetapan kawasan hutan, lanjutnya, mengacu SK Nomor 8108 yang ditentukan Menteri KLHK. Apabila instansi lain ingin mengetahui suatu areal merupakan kawasan hutan atau tidak, bisa menggunakan SK itu. Begitu juga dalam pengambilan titik koordinat, harus dilakukan ahli atau orang punya pengetahuan di bidang tersebut.
Muldoyanto menuturkan, selama ini SK tersebut yang digunakan. Namun demikian, kuasa hukum Abdul Fatah sempat bertanya apakah SK itu maupun SK 529 Tahun 2021 tentang Peta Kawasan Hutan Kalteng bisa dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penindakan, dia tidak bisa memberikan penegasan.
”Untuk menentukan itu bukan ranah saya. Tapi, selama ini untuk mengecek areal apakah kawasan hutan atau tidak kami menggunakan SK tersebut," ujar Muldoyanto.
Berdasarkan SK 529, lanjutnya, areal yang kini tengah dipermasalahkan masuk kawasan hutan. Namun, dia mengaku belum tahu apakah areal itu sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan atau belum. Dia juga tak mengetahui lokasi di lapangan terkini.
Dalam gugatan sebelumnya disebutkan, tergugat dianggap melawan hukum terkait persoalan lahan yang dikelola Abdul Fatah yang dianggap masuk kawasan hutan. Penggugat mengalami kerugian berupa pembelian tanah tersebut sebesar Rp 87.650.000, biaya pengelolaan lahan dan biaya penanaman kepala sawit sebesar Rp 100 juga, sehingga kerugian materil yang timbul akibat perbuatan tergugat sebesar Rp. 187.650.000. Kemudian, kerugian inmateril yang timbul akibat perbuatan tergugat apabila dinominalkan sebesar Rp 1,5 miliar. (ang/ign)