SAMPIT – Keputusan pemerintah mencabut sejumlah izin usaha konsesi kawasan hutan, termasuk di Kalimantan Tengah, dinilai menjadi bencana investasi. Berbagai masalah baru bisa muncul akibat kebijakan tersebut, salah satunya pengangguran massal dan semakin rapuhnya perekonomian.
Ketua Bidang Komunikasi dan Publikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kalteng Siswanto mengatakan, pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) tidak bisa serta merta begitu saja dilakukan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Pasalnya, untuk mendapatkan izin tersebut, banyak tahapan dan syarat yang harus dipenuhi.
”Karena itu, pencabutannya harus melalui sejumlah proses dan tahapan. Tidak bisa secara kolektif. Mengingat saat mendapatkan izin dari awal sudah sesuai prosedur. Kementerian LHK seharusnya tidak bisa mencabut izin perusahaan pemegang HGU,” ujarnya, Minggu (9/1).
Menurut Siswanto, investor, termasuk perusahaan perkebunan kelapa sawit, dilindungi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2006 tentang Investasi. Pemerintah seharusnya berupaya mempermudah investasi dan pembangunan ekonomi, serta menciptakan lapangan pekerjaan dan menjamin pekerja tetap dapat menjalankan tugasnya.
”Saya menyayangkan keputusan Menteri Lingkungan hidup dan Kehutanan. Jangan sampai malah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengubah kewenangan Menteri Kehutanan dalam Pasal 4 Ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” katanya.
Pencabutan konsesi kawasan hutan itu, lanjutnya, hanya akan menimbulkan konflik baru di sektor perkebunan kelapa sawit. Hal itu berkaitan dengan nasib ratusan ribu karyawan dan keluarga yang menggantungkan hidupnya dari sektor tersebut. Dikhawatirkan akan terjadi pemutusan hubungan kerja secara massal.
”Belum lagi perkebunan kelapa sawit yang masih memiliki tanggungan di bank, maka akan terjadi kredit macet skala besar. Dampak pencabutan itu akan sangat luas. Tidak hanya bagi masyarakat, melainkan sejumlah kalangan. Pascaterbitnya HGU, KLHK tidak memiliki kewenangan lagi menarik kembali izin yang telah dikeluarkan. Setidaknya ada proses seandainya memang terpaksa mencabut izin tersebut,” katanya.
Siswanto menambahkan, di Kalteng saat ini terdapat sekitar 355.740 tenaga kerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Apabila terjadi PHK secara massal akibat pencabutan izin tersebut, perekonomian bisa kembali ambruk. Padahal, baru saja bangkit setelah dihantam pandemi Covid-19.
”Seharusnya ini menjadi salah satu pertimbangan juga (potensi PHK, Red). Nasib ratusan ribu tenaga kerja ini mau diapakan? Selama ini mereka bergantung hidup dari perkebunan kelapa sawit. Apabila perkebunan kelapa sawit tempat mereka bekerja ditutup, lantas mau ke mana lagi? Semua mengetahui saat ini ekonomi sedang sulit akibat dampak Covid-19,” ujarnya.
Seperti diberitakan, pemerintah mencabut HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektare. Dari luasan tersebut, sebanyak 25.128 hektare milik 12 badan hukum, sisanya 9.320 hektare bagian dari HGU yang telantar milik 24 badan hukum.
Jokowi juga mencabut 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare. Untuk di Kalteng, tercatat sebanyak 59 izin yang dicabut. Alasannya lantaran tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan diterlantarkan. Untuk izin pertambangan, sekitar 2.078 izin yang dicabut karena tidak pernah menyampaikan rencana kerja.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, pencabutan izin tersebut telah melalui proses verifikasi. Proses tersebut memakan waktu lima hingga enam bulan karena terkendala pandemi Covid-19.
Dengan upaya tegas pemerintah, dia berharap izin-izin itu dapat dimanfaatkan untuk membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Dengan demikian, penciptaan lapangan kerja, pendapatan negara, dan pertumbuhan daerah diharapkan bisa maksimal.
’’Karena sekarang investasi mau masuk, orang mau bawa duit, baik investor dalam negeri maupun luar negeri. Tapi, masuk di Indonesia konsesi sudah menipis karena dipegang oleh teman-teman yang sudah duluan yang tidak pernah terevaluasi,’’ paparnya. ( ang/ign)