NANGA BULIK – Dugaan korupsi yang menyeret Kepala Desa Kinipan Willem Hengki sebagai pesakitan, merupakan warisan perkara dari kades sebelumnya. Willem yang menjadi pemimpin setelah proyek bermasalah itu dikerjakan, menanggung beban pembayaran pada pihak ketiga hingga kebijakannya dinilai menyalahi aturan dan berujung pada pidana korupsi.
Hal tersebut terungkap dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Lamandau pada sidang perdana dugaan korupsi Dana Desa Kinipan tahun anggaran 2019, Senin (31/1). Sidang dengan agenda pembacaan dakwaan itu digelar virtual yang dipimpin Hakim Ketua Erhammudin dengan Hakim Anggota Kusmat Tirta Sasmita dan Muji Kartika Rahayu.
Erikson Siregar, anggota JPU saat membacakan dakwaan mengatakan, Willem Hengki tidak mengelola keuangan desa sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 tahun 2018 dan Pasal 29 huruf F Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Kemudian, melawan hukum dalam melaksanakan tugasnya sebagai kades.
Selain itu, lanjutnya, terdakwa tidak mengelola keuangan desa secara transparan, akuntabel, partisipatif, tertib, dan disiplin anggaran. Dalam perkara yang menjeratnya, Willem sengaja menganggarkan pekerjaan yang telah dilaksanakan pada 2017 dan membayarkan pekerjaan itu tanpa disertai dokumen pendukung yang diperlukan untuk pencairan anggaran.
Akibat perbuatan itu, Willem dinilai memperkaya diri sendiri atau orang lain. dalam penjelasannya, Willem menyalahi kewenangan dalam menetapkan kebijakan pelaksanaan APBDes dan mengakibatkan pengeluaran atas beban APBDes, sehingga memperkaya Direktur CV Bukit Pendulangan, Dedi Gusmanto yang merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57. Kerugian tersebut mengacu laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara dalam perkara itu.
Erikson mengungkapkan, kejadian berawal ketika Kepala Desa Kinipan sebelumnya, Emban, pada 2017 membuat perjanjian Ratno, Direktur CV Bukit Pendulangan pada tahun 2017. Perjanjian tersebut berupa pembangunan jalan usaha tani sepanjang 1.300 meter dengan lebar jalan delapan meter. Nilai kontraknya sebesar Rp 400 juta.
Pembayaran atas pekerjaan tersebut disepakati dengan pihak Desa Kinipan akan dianggarkan dalam APBDes tahun anggaran 2018. Akan tetapi, setelah pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan pada 2017, berita acara serah terima pekerjaan antara kontraktor dengan Pemerintah Desa Kinipan tidak dibuat. Demikian pula dengan laporan atau progres pekerjaannya.
Informasi dihimpun Radar Sampit, setelah masa jabatan Emban berakhir dan diganti Willem, kontraktor proyek jalan CV Bukit Pendulangan (Ratno) menagih pembayaran proyek pada Willem. Willem kemudian mengalokasikan anggaran pembayaran pada APBDes Kinipan tahun 2019. Proyek itu lalu dibayarkan pada Dedi Gusmanto selaku Direktur CV Bukit Pendulangan yang baru.
Menurut dakwaan JPU, hal tersebut dinilai menyalahi aturan. Willem disebut menyalahgunakan kewenangannya dan sengaja menganggarkan dana pembayaran pekerjaan yang telah selesai pada 2017. Pembayaran itu tanpa disertai dokumen pendukung yang diperlukan untuk pencairan anggaran. Akibatnya, merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57.
Perbuatan Willem tersebut dinilai menyalami aturan dan diancam pidana sesuai Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan subsider, perbuatan terdakwa diancam pidana Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 18 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Willem menjadi terdakwa tunggal dalam dugaan korupsi tersebut, meski perkara tersebut berkaitan dengan warisan kebijakan pemimpin sebelumnya. Pihak lainnya, seperti Kades Kinipan sebelumnya, Emban; Direktur CV Pendulangan Dedi Gusmanto dan direktur lama Ratno; hanya dijadikan sebagai saksi perkara. Padahal, dalam dakwaan disebutkan perbuatan Willem memperkaya Dedi Gusmanto.
Setelah pembacaan dakwaan, kuasa hukum terdakwa, Aryo Nugroho, menyatakan akan menyampaikan eksepsinya. Namun, sebelum sidang berakhir, dia menyampaikan tiga permohonan kepada Majelis Hakim.
”Yang pertama, kami mengajukan permohonan peralihan penahanan terhadap terdakwa (dari tahanan rutan menjadi tahanan kota). Kedua, mengajukan permohonan agar persidangan ke depan dilakukan secara offline, dan ketiga memohon untuk menggandakan berkas perkara,” kata Aryo.
Mengingat masih wabah pandemi Covid-19, Majelis Hakim memutuskan masih melaksanakan sidang secara online. Untuk permohonan permintaan penggandaan berkas perkara disetujui. Namun, permohonan peralihan penahanan, masih akan dimusyawarahkan.
Tudingan Kriminalisasi
Sementara itu, dari Palangka Raya dilaporkan, aksi damai digelar sejumlah masyarakat dari Gerakan Solidaritas untuk Kinipan. Aksi yang dilaksanakan di depan Pengadilan Tipikor dan PHI Pengadilan Negeri Palangka Raya tersebut dikawal ketat aparat kepolisian.
Dalam aksi itu, para demonstran yang terdiri dari Walhi, Aman Kalteng, SOB, LBH-YLBHI, GMNI, dan kerabat Willem Hengki, menyatakan Willem Hengki tidak melakukan korupsi seperti yang dituduhkan. Proses hukum tersebut merupakan bentuk pelemahan gerakan masyarakat Adat Laman Kinipan dalam memperjuangkan wilayah adat masyarakat.
Mereka meminta hakim agar memutuskan vonis bebas untuk Willem. Selain itu, juga meminta agar semua pihak menghentikan kriminalisasi masyarakat adat Kinipan dan segera mengakui wilayah adat dan masyarakat adat Kinipan.
Koordinator aksi Effendi Buhing mengatakan, pihaknya tetap menghargai proses hukum yang ada terkait persoalan tersebut. ”Kami mengikuti aturan hukum yang ada. Meskipun masyarakat Kinipan menghendaki bahwa persoalan itu tidak harus sampai persidangan. Dugaan (korupsi) itu hanya dipaksakan, hingga mengkriminalisasi Kepala Desa Kinipan,” ujarnya.
Effendi menjelaskan, dugaan adanya kriminalisasi itu lantaran pihaknya gigih mempertahankan wilayah adat. Kriminalisasi masyarakat setempat terlihat jelas, karena mempertahankan adat. Sebelumnya juga ada penangkapan terhadap lima masyarakat, termasuk kades.
”Kami dikriminalisasi itu terlihat jelas, karena kami mempertahankan tanah adat kami dari penggusuran PT Sawit Mandiri Lestari. Maka itu kami mohon mereka menghentikan kegiatan dan mengakui wilayah adat. Aturan hukum silakan berjalan, tetapi harus benar-benar berkeadilan,” tegasnya.
Lebih lanjut Effendi mengatakan, kasus yang menjerat Willem bermula dalam pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan tahun 2017. Saat itu dibuat kesepakatan antara kades sebelumnya dengan kontraktor, bahwa pembayaran dilakukan menggunakan APBDes. Namun, pembayaran tidak bisa dilakukan lantaran masa jabatan kades saat itu, Emban, telah berakhir.
Pada 2018, Willem terpilih sebagai kades. Willem kemudian didatangi kades lama dan kontraktor yang meminta pembayaran atas proyek jalan sebelumnya yang dibuktikan dengan surat perjanjian. Selanjutnya, pada 2019 melalui Musrenbang, Willem meminta petunjuk dan arahan terkait pembayaran utang proyek jalan tersebut.
Menurut Effendi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Lamandau memberikan arahan, bahwa selama kegiatan tidak fiktif, tidak ada korupsi di dalamnya dan tidak terjadi tumpang tindih. Selain itu, pembayaran proyek itu juga telah dibawa ke Musrenbang, sehingga tidak masalah dibayarkan. Atas dasar itulah Willem berani membayar melalui APBDed 2019.
Akan tetapi, lanjut Effendi, pada 2020, Bupati Lamandau mengeluarkan surat perintah pemeriksaan khusus terhadap pelaksanaan belanja modal dan barang tahun 2017-2019. Hasilnya, anggaran pembayaran proyek pekerjaan jalan tahun 2019 tersebut dinilai fiktif. Padahal, jalan tersebut telah selesai dikerjakan.
Effendi menambahkan, pihaknya menemukan kejanggalan dalam perkara itu. Harusnya berdasarkan Undang-Undang 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, masalah itu diselesaikan melalui Aparatur Pengawas Internal Pemerintahan (APIP). Namun, aparat kepolisian justru melakukan penyelidikan dengan memanggil aparatur desa.
Kejanggalan lain, Willem yang menjadi tersangka tunggal. Padahal, hasil pemeriksaan Inspektorat Lamandau tidak menemukan kerugian negara. Selain itu, selama proses penyelidikan dan penyidikan Willem kooperatif. Namun, saat pelimpahan dilakukan penahanan, sehingga dinilai tidak mendasar. ”Kenapa tidak dari awal saat penetapan tersangka?” kata Effendi.
Wakil Ketua Pengadilan Tipikor dan PHI Pengadilan Negeri Palangka Raya Toto Sapto Indrato menegaskan, Majelis Hakim tidak bisa diintervensi dan melangkah dengan aturan hukum. Putusan terkait persidangan bersumber pada fakta persidangan, saksi, alat bukti, dan lainnya.
”Majelis Hakim tidak memihak siapa pun. Jika benar maka akan divonis bebas, tetapi jika sebaliknya, aturan hukum ditegakkan. Kami tidak bisa diintervensi. Yakinlah bahwa proses hukum yang ada saat ini sesuai aturan dan tidak ada hal-hal menyimpang. Sekali lagi saya jamin akan bebas jika tidak bersalah,” ujarnya.
Dia menambahkan, persidangan tidak bisa diselesaikan satu hari, tetapi melalui proses acara pidana. ”Percayakan pada Majelis Hakim yang sudah ditunjuk. Tidak ada pihak manapun yang bisa ikut campur dalam penanganan perkara,” tandasnya. (mex/sla/daq/ign)