SAMPIT – Rapat pembahasan rancangan peraturan daerah Kabupaten Kotawaringin Timur tentang pajak daerah di gedung DPRD, Jumat (12/1) berjalan alot. Poin yang jadi perdebatan adalah besaran tarif pajak bea pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (BPHTB).
Dalam Pasal 79 Ayat 1 Raperda tentang Pajak yang diusulkan Pemkab Kotim, tarif pajak BPHTB ditetapkan sebesar 5 persen. Usulan ini dianggap terlalu besar dan melampaui besaran pajak yang telah ditetapkan dalam Pemerintah Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya.
Dalam PP Nomor 34 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat 1, disebutkan besarnya BPHTB sebesar 2,5 persen dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana atau rumah susun sederhana. Sedangkan Ayat 2 tarif pajak BPHTB untuk rumah sederhana (rumah subsidi) hanya 1 persen.
Dalam pembahasan kemarin, fraksi-fraksi di DPRD juga tidak satu suara. Fraksi Golkar dan Fraksi Hanura sepakat tarif BPHTB sebesar 2,5 persen untuk nonsubsidi dan 1 persen untuk rumah subsidi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 34 Tahun 2016. Sedangkan Gerindra dan PDIP sepakat usulan pemkab sebesar 5 persen. Dadang H Syamsu dari Fraksi PAN Abstain dengan alasan dirinya sebagai pimpinan sidang.
Ketua Real Estate Indonesia (REI) Kotim Andi Saputra berharap peraturan daerah sejalan dengan semangat pemerintah pusat yang memberikan keringanan pajak demi meningkatkan daya beli masyarakat ekonomi bawah. Dampak pengenaan pajak yang terlalu tinggi akan dirasakan langsung masyarakat.
”Jika tarif BPHTB tetap 5 persen, yang terbebani bukan pengembang perumahan, tapi semua masyarakat. Kami berharap wakil rakyat memperjuangkan aspirasi masyarakat,” kata Andi.
Lebih lanjut Andi juga membeberkan bahwa realisasi pembangunan rumah subsidi oleh developer yang berada di bawah naungan REI Kotim mencapai 1.200 unit. Selama ini, beban biaya BPHTB rumah subsidi sebesar Rp 3,75 juta. ”Sehingga total biaya BPHTB yang dibayarkan untuk 1.200 unit rumah subsidi sebesar Rp 4,5 miliar. Ini belum termasuk 120 rumah kategori komersial,” ujarnya.
Lima Persen
Sementara itu, setelah diberikan ruang negosiasi, akhirnya BPHTB ditetapkan di angka 5 persen setelah melalui voting. ”Karena tidak ada kata mufakat dan eksekutif tetap bersikeras di angka 5 persen dan anggota Bapemperda juga tidak satu suara, akhirnya diambil suara terbanyak, yakni sebesar 5 persen,” kata Ketua Bapemperda DPRD Kotim Dadang H Syamsu.
Dalam voting itu, hanya Golkar dan Hanura yang bersikukuh ditetapkan di angka 2,5 persen, sedangkan fraksi lainnya menerima. Meski demikian, lanjut Dadang, keputusan itu belum final. Semuanya akan dilaporkan dalam rapat paripurna.
”Keputusan tertinggi tetap di paripurna nanti. Yang pasti, angka lima persen itu sudah disepakati dalam pertemuan di pembahasan ini,” kata dia.
Dadang menegaskan, angka lima persen itu tidak menyalahi aturan. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi menyatakan, 5 persen adalah angka maksimum.
”Kami hargai semua argumentasi dalam rapat tadi, tapi yang jelas keputusan rapat tadi adalah itu. Artinya, siapa pun yang tadi tidak sepakat, wajib sepakat dan menghormati keputusan rapat,” ujarnya.
Menurutnya, di balik getolnya Pemkab Kotim bertahan di angka 5 persen itu, lantaran target pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor BPHTB sudah ditentukan. Sebab, acuan yang digunakan sebelumnya memang sudah di angka 5 persen.
”Sebenarnya, dari tahun sebelumnya juga sudah ditetapkan lima persen. Pemkab berargumen, jika angka itu diturunkan, akan terjadi penurunan PAD dari sektor tersebut,” tandasnya. (yit/ang/ign)