PANGKALAN BUN- Warga Tionghoa di Kabupaten Kotawaringin Barat merayakan tahun baru Imlek 2019 dengan melakukan ibadah di Vihara Graha Syailendra yang berada di kawasan Bundaran Pangkalan Lima, Kelurahan Baru, Kecamatan Arut Selatan, Selasa (5/2) pagi. Imlek kali ini merupakan tahun ke 2570 dan menurut astrologi China, tahun ini merupakan tahun babi tanah. Seluruh warga Tionghoa berharap mereka bisa lebih baik dari tahun sebelumnya.
Pantauan media ini, aktivitas di Vihara Graha Syailendra mulai ramai sejak pukul 07.00 WIB. Mereka yang datang langsung menyalakan hio (dupa) sebelum beribadah. Terlihat bagi yang ibadah ini juga ada yang sendiri dan sebagian mereka beribadah bersama-sama dengan keluarga. Setelah melakukan ibadah, dilanjutkan dengan duduk di dalam vihara seraya memanjakan doa. Mereka berharap, tahun ini bisa lebih baik lagi.
Cahyadi, salah satu pengunjung vihara mengatakan bahwa perayaan imlek merupakan perayaan budaya yang juga merupakan pesta rakyat Tiongkok (Tionghoa).
“Imlek ini bisa dibilang adat budya warga kami dan keturuannnaya (Tionghoa). Tiap pergantian tahun memang pada umumnya semua berdoa di vihara, diluar kegiatan berdoa yang biasa kita lakukan setiap hari,” katanya.
Menurutnya, pesta rakyat Tionghoa ini biasanya akan dirayakan selama 15 hari dari tanggal satu imlek dan ditutup tanggal 15 pada perayaan Cap Go Meh.
Hal serupa juga diutarakan Herianto, salah satu tokoh Tionghoa di Pangkalan Bun ini mengatakan bahwa inti dari perayaan imlek adalah mensyukuri anugerah yang diberikan tuhan dan memohon perlindungan di masa mendatang. Dan seperti biasa, Imlek kental dengan kegiatan saling kunjung antar keluarga dan kerabat.
“Yang lebih muda mengunjungi yang tua, dan biasanya yang tua memberikan hadiah (angpao),” katanya.
Selain angpao dan semaraknya warna merah serta pertunjukan barongsai, ada satu makanan khas yang ‘wajib ada’ dan selalu menjadi incaran warga Tionghoa, Kue Keranjang.
“Kue yang biasa dikemas bulat silinder biasanya selalu diburu,” katanya sambil tersenyum.
Herianto menjelaskan bahwa kue keranjang atau dodol China adalah kue yang hanya dibuat 1 tahun sekali menjelang perayaan Imlek. Kekhasan yang dimiliki kue ini tidak hanya dari bentuknya saja tetapi memang wajib ada sebagai sajian dalam peribadatan, dibagikan kepada saudara, atau bahkan pada tetangga.
“Dari nama asalnya, kue keranjang punya nama asli Nian Gao, dimana nian berarti tahun dan gao berarti kue,” katanya.
Kemudian penyusuanan kue yang dibuat meninggi dan bertingkat-tingkat dengan susunan makin kecil dibagian atasnya, memilik makna peningkatan rejeki atau kemakmuran.
Lalu apa nilai filosifi lain tentang kue keranjang, lanjut Herianto, yang pertama adalah bahan pembuat kue. Kue keranjang dibuat dari tepung ketan yang punya sifat lengket. Ini bermakna persaudaraan yang begitu erat dan selalu menyatu.
“Rasanya yang manis dari gula dan terasa legit menggambarkan rasa suka cita, menikmati keberkatan, kegembiraan, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam hidup,” terangnya.
Untuk bentuk sendiri juga memiliki makna yang cukup dalam. Bentuk bulat kue keranjang tanpa sudut di semua sisi juga melambangkan pesan kekeluargaan tanpa melihat ada yang lebih penting dibandingkan lainnya dan akan selalu bersama tanpa batas akhir.
Diharapkan keluarga juga bisa berkumpul minimal 1 tahun sekali sehingga akan tercipta kerukunan dalam hidup dan siap untuk menghadapi hari-hari kedepan.
“Jadi, pesan kekeluargaan begitu jelas terlihat disini, tidak hanya dengan keluarga saja, tetapi juga dengan komunitas, tetangga, klien, dan pelanggan usaha,” tandasnya. (rin/sla)