PANGKALAN BUN - Desa Tanjung Putri, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dikenal sebagai salah satu desa penghasil ikan asin. Sebagai desa yang mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan, seharusnya produk ikan asin yang dihasilkan mampu mensejahterakan mereka.
Sayangnya lantaran faktor keterbatasan modal, hampir seluruh pengrajin ikan asin di desa pesisir ini terjebak jeratan para tengkulak.
“Pengrajin ikan asin di desa ini terikat kontrak dengan para tengkulak, sehingga produk ikan asin hasil olahan mereka wajib masuk ke tengkulak,” kata Kepala Desa Tanjung Putri, Dedi Haryanto.
Ia menjelaskan, kontrak yang dilakukan antara tengkulak dan perajin ikan asin diwujudkan dalam bentuk pemberian modal awal untuk proses produksi, sehingga hasil produksi ikan asin, seperti ikan Telang dan Pari harus masuk ke tengkulak dengan harga jauh di bawah pasaran. Selisihnya cukup besar.
Ia mencontohkan untuk harga ikan asin jenis Telang harga dipasaran perkilogramnya mencapai Rp 50 ribu, namun lantaran terikat utang dengan tengkulak harganya hanya mencapai Rp 25 ribu. Sementara untuk harga ikan asin yang kecil atau kerepes harganya hanya Rp 7 ribu hingga Rp 10 ribu perkilogramnya.
“Kita dari pemerintahan desa sudah berupaya membantu masyarakat dalam hal pemasaran, namun lantaran sudah terikat kontrak kita tidak bisa berbuat apa - apa,” ujarnya.
Ia juga mengaku sudah berupaya memutus rantai jalur pemasaran melalui tengkulak, namun karena masyarakat kerap kesulitan permodalan, banyak pengrajin menerima uang terlebih dahulu dari tengkulak untuk biaya produksi.
Salah seorang pengrajin ikan asin, Siti mengakui bahwa sebagai nelayan kecil suaminya kerap kekurangan modal untuk melaut, padahal hasil tangkapan suaminya digunakan sebagai bahan baku ikan asin, termasuk ikan kerepes atau ikan campur - campur yang kecil.
Menurutnya ikan kerepes ini sangat digandrungi karena rasanya yang enak dan gurih bila digoreng, namun di tingkat penampung atau tengkulak, harganya hanya Rp 7 ribu padahal bila dipasaran bisa berkali - kali lipat.
“Terpaksa kami mengambil di tengkulak untuk modal, sehingga hasilnya tidak mencukupi, gali lobang tutup lobang, tapi untuk kebutuhan hidup sehari - hari tertutupi,” pungkasnya. (tyo/sla)