Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara pada 12 Mei 2020 lalu, sejumlah dampak semakin nyata mengancam keselamatan warga hingga sumber penghidupan rakyat. Ancaman terhadap eksploitasi sumber daya alam dan kriminalisasi terhadap warga dinilai semakin tinggi. Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional selama tahun 2021 mencatat 58 kasus kriminalisasi. Kasus terbesar sebanyak 52 persen disebabkan sektor pertambangan.
Sebanyak 21 warga mengalami kriminalisasi sejak berlakunya UU Minerba. Selain itu, lebih dari 11 juta hektare lahan yang menjadi ruang hidup yang dikelola rakyat dijarah kepentingan investasi pertambangan. Bahkan, sebelum disahkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, penolakan besar-besaran terjadi dari berbagai elemen masyarakat. Aksi penolakan tak hanya terjadi di Kalteng, namun di berbagai daerah di Indonesia.
Namun, Walhi menilai pandemi Covid-19 menjadi tameng. DPR RI dan pemerintah tetap mengesahkan dan memberlakukan regulasi tersebut dengan mengabaikan penolakan warga. Meski demikian, upaya penolakan tak berhenti. Rabu (9/3) lalu, Walhi bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim dan dua warga bernama Nur Aini asal Banyuwangi dan Yaman asal Bangka Belitung mengajukkan judical review terhadap UU Minerba.
Pelaksanaannya mencapai sidang ke-8. Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herinata mengatakan, diberlakukannya UU Minerba menjadi sesuatu yang sangat dikhawatirkan. Bahkan, sebelum adanya UU Minerba saja di Kalteng masih terdapat berbagai dampak yang dirasakan masyarakat, terutama di area sekitar pertambangan. Seperti, kriminalisasi, kerusakan sungai, pergeseran nilai sosial dan budaya, serta hilangnya sumber penghidupan masyarakat adat.
Menyikapi hal tersebut, Walhi Kalteng menilai Bumi Tambun Bungai menjadi salah satu provinsi yang akan berpotensi besar mendapatkan dampak dari UU Minerba. Hal itu didukung dengan luas wilayah Kalteng mencapai 15,426,781 hektare. Dia melanjutkan, dengan wilayah yang luas, Kalteng seharusnya bisa dikelola dengan baik agar potensi kekayaan alam tetap lestari. Namun, kenyataannya Kalteng tidak terlepas dari berbagai ancaman kerusakan sumber daya alam, terutama oleh industri skala besar yang dikelola perusahaan pertambangan.
”Berdasarkan data Walhi Kalteng, kondisi pertambangan di Kalteng saat ini secara persentase dan eksistingnya di beberapa lahan area sudah dalam tahap eksploitasi. Walaupun belum semasif seperti yang terjadi di Kaltim dan Kalsel, karena saat ini lebih banyak dijadikan land bank,” kata Bayu. Menurutnya, apabila berkaca keadaan saat ini saja, kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di sekitar tambang sudah sangat buruk dan rendah.
Belum lagi ancaman kekerasan dan kriminalisasi akibat mempertahankan wilayah atau lahan. Maka, sudah seharusnya Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan atas upaya judicial review terhadap UU Minerba yang sedang berjalan demi keselamatan umat manusia. ”Kami mendukung upaya judical review terhadap UU Minerba, semoga semua tuntutan dapat dikabulkan Mahkamah Konstitusi,” katanya. Manajer Advokasi dan Kajian Walhi Kalteng Janang Firman Palanungkai menambahkan, UU Minerba yang telah disahkan dan diberlakukan selama dua tahun ini sangat berbahaya. Pihaknya mendukung upaya judical review terhadap UU Minerba.
Janang mengatakan, berdasarkan data Walhi Kalteng, saat ini terdapat 324 izin pertambangan di Kalteng, baik IUP, PKP2B, dan Kontrak Karya. Hal itu menunjukkan bahwa penguasaan ruang untuk pertambahan di Kalteng berpotensi cukup besar. ”Walhi Kalteng pernah melakukan pendampingan masyarakat korban dampak pertambangan batu bara pada salah satu daerah di Kalteng. Dorongan terhadap pemerintah agar adanya pemulihan dan perlindungan terhadap hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat masih belum maksimal dilakukan,” katanya.
Bahkan, lanjut Janang, upaya yang masyarakat lakukan hingga adanya mediasi yang difasilitasi Komnas HAM yang kemudian mendapat beberapa poin kesepakatan, belum juga ada upaya serius dari pihak perusahaan dalam memenuhi tanggung jawabnya. ”Saat itu UU Minerba belum disahkan. Apalagi kalau seperti saat ini, akan semakin parah tentunya. Nasib masyarakat sekitar pertambangan itu pun jadi terkatung-katung tanpa kepastian,” ujarnya. (hgn/ign)