Kediaman Haji Asang Triasha (47) di Tumbang Sanamang, Ibu Kota Kecamatan Katingan Hulu, Kabupaten Katingan, terlihat lebih megah dibanding rumah warga lainnya. Sebuah mobil berkelir hitam dengan gardan ganda, parkir di samping rumah bercat oranye tersebut.
Lumpur yang menguning, masih menempel di sebagian bodi dan ban mobil. Kendaraan yang harganya mencapai setengah miliar rupiah tersebut masih dalam perbaikan. Tak jauh di sampingnya, motor sport seharga puluhan juta, parkir dengan gagahnya.
Radar Sampit diterima di ruangan terbuka di samping rumah yang luas dan nyaman. Di tengahnya berdiri meja tenis, lengkap dengan net dan dua betnya (pemukul bola). Ruangan itu kerap dijadikan Asang untuk menerima tamu atau tempat berkumpul bersama warga setempat yang kerap mendatanginya ketika dia ada di rumah.
Sekitar setengah jam menunggu, seorang wanita berhijab keluar menghampiri. Lisnawati. Demikian wanita berusia 42 tahun ini disapa. Dia merupakan istri Asang. Sudah dua pekan lebih wanita itu tak bertemu suaminya yang tengah berperkara saat ditemui Radar Sampit, Senin (21/3).
Suaminya saat itu telah mendekam dalam Rumah Tahanan Kelas IIA Palangka Raya. Terjerat perkara dugaan korupsi proyek jalan tembus sebelas desa di sepanjang aliran Sungai Sanamang. Asang dijadikan tersangka dan ditangkap saat berada di Jakarta, Kamis (17/3) lalu.
Lisnawati menolak ketika Radar Sampit memintanya wawancara secara visual dengan merekam wajahnya. Dia mengaku gugup jika harus berbicara di depan kamera. ”Lebih lepas kalau bicara langsung seperti ini,” ujarnya.
Ibu dari tiga orang anak dengan suara renyah ini berapi-api ketika berbicara kasus yang membelit suaminya. Dia menduga perkara itu sudah diatur sedemikian rupa, sehingga Asang dan Hernadie dijadikan korban.
”Saya tak akan protes kalau suami saya dipenjara karena dia memang benar korupsi. Bahkan, saya yakin akan ada musibah lebih hebat yang akan menimpanya jika dia makan duit negara. Tapi, kasus yang ada ini jelas merupakan fitnah luar biasa terhadap kami,” tegasnya.
Lisnawati juga berang ketika ada pihak yang menuduh suaminya kaya dari korupsi. Padahal, harta yang diraih dirinya bersama Asang hingga bisa seperti sekarang, murni dari kerja keras dan keringat perjuangan.
Bersama suaminya, Lisnawati mengaku sudah pernah menggeluti berbagai profesi sebelum memiliki harta melimpah. ”Dulu bahkan pernah mencari besi tua yang dikumpulkan, lalu dijual. Pernah juga mencoba usaha rotan,” tuturnya.
Lisnawati mengaku sudah sekitar dua puluh tahun menetap di Tumbang Sanamang. Sebelum menikah dengannya, Asang pernah menjadi guru bahasa Inggris di SMP/SMA Muhamadiyah Tumbang Samba, Kecamatan Katingan Tengah.
Saat memulai usaha, mereka mendapatkan pinjaman Rp 10 juta untuk modal membeli besi tua. Sekian lama menjalani bisnis besi, mereka melirik peluang usaha lain; karet. Saat itu harga komoditas tersebut masih cukup tinggi. Insting bisnis Asang dan istrinya tak meleset. Keduanya meraup untung besar dari usaha itu.
”Kami beli karet dari masyarakat dan dikumpulkan. Pernah waktu itu mencapai 500-an ton, langsung dibawa ke Tumbang Samba,” ujar Lisnawati.
Sukses jadi pengepul karet, Asang dan Lisnawati memulai usaha dagang, di antaranya minyak jenis solar. Solar sangat diperlukan di wilayah itu. Asang juga membangun losmen dengan 15 kamar untuk tempat menginap tamu yang mengunjungi Tumbang Sanamang.
Dari hasil kerja kerasnya, Asang kini memiliki 15 unit mobil. Tiga diantaranya jenis Fortuner untuk melayani transportasi darat dari Palangka Raya menuju Sanamang. Hanya mobil dengan gardan dua yang bisa melintasi jalan menuju Sanamang. Asang juga memiliki rumah di Palangka Raya.
Asang menjelma menjadi pengusaha muda yang sukses. Alasan itu pula yang membuat Hernadie dan kepala desa (yang dibantah oleh para kades dalam sidang, Red) memercayakan proyek jalan sepanjang 43 kilometer padanya. Apalagi Asang merupakan putra daerah asli Katingan Hulu.
”Kalau kami tak menyelesaikan pekerjaan, tapi terima bayaran, bisa disebut korupsi. Tapi pekerjaan kami selesai. Wajar kami meminta bayaran. Malah dituduh korupsi, yang ada kami justru rugi,” kata perempuan yang memiliki gelar Hajah ini.
Dia juga tak terima suaminya disebut buronan. Pasalnya, saat itu posisi suaminya sudah jelas, berada di Jakarta. Ponselnya selalu aktif. Asang bahkan mengunggah aktivitasnya di Jakarta melalui media sosial.
”Dia tidak tidak melarikan diri, tapi mencari keadilan di Jakarta. Untuk membuktikan bahwa status tersangka itu tidak benar,” tegasnya.
Ketua RT 2 Desa Sei Nanjan Agung Kramajaya menuturkan, nama Asang sudah membumi di Katingan Hulu. Sosoknya dikenal ramah dan murah senyum. Selain itu, sering membantu warga yang kesulitan keuangan.
”Bahkan, jika utangnya itu tak seberapa nilainya, Haji Asang justru mengikhlaskannya. Anggapan kami dari masyarakat, tak masuk akal Asang jadi tersangka. Hanya saja, kami serahkan lagi kepada aparat penegak hukum bagaimana memprosesnya lebih lanjut. Yang jelas, keadilan harus benar-benar diterapkan. Kami berharap agar pedang keadilan jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” kata Agung.
Agung juga sempat menuliskan kegelisahannya terkait kasus itu melalui media sosial. Dia menilai ada kezaliman dan penindasan yang nyata terhadap Hernadie dan Asang. Hal yang jelas sudah benar, justru dicari kesalahannya.
”Untuk sebelas kades jalur Sungai Sanamang, masih adakah rasa kemanusiaan dan hati nurani bersih yang tersisa? Sehingga begitu teganya bersatu untuk menggilas sesama yang kita semua tahu, adalah putra Katingan Hulu, H Asang Triasa. Kontribusi untuk daerah kita, terutama di bidang ekonomi sangat kita rasakan. Berapa ratus lembar nota bon (utang, Red) masyarakat yang dibantunya kepada sesama,” ujarnya.
Kemampuan Haji Asang secara keuangan dan sering membantu warga itu, lanjut Agung, menjadi alasan memberikan kepercayaan padanya untuk membuat kembali jalan penghubung antardesa.
”Bila memang kita tidak setuju, kenapa waktu di gedung Hasupa Hasundau (pertemuan) dulu kita semua setuju? Saya waktu itu ikut hadir. Setelah mufakat selesai, kita sama-sama dengan mantan camat (Hernadie, Red), menghadiri syukuran kades juga. Tak ada selisih paham. Tak ada silang sengketa. Kenapa setelah pekerjaan selesai, malah keberatan membayarnya? Kenapa seorang WNI yang terima upah sebagai kuli, menyandang status tersangka? Apa yang dikorupsinya? Secara akal sehat, desa lah yang pegang uang. Apakah proses penerimaan DD/ADD memang sudah sesuai? Apakah proses belanja barang sudah sesuai?” kata Agung.
”Semua kesalahan yang bertumpuk, kita serahkan semua untuk H Asang Triasa? Sungguh pilu dan sedih, kalau semua kesalahan kita tumpahkan untuk beliau. Nanti, di pengadilan Maha Adil, barulah kita menyesali. Turut berduka atas keadilan,” tulis Agung melalui akun Facebook-nya, Maret lalu. (ewa/ign)