Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, kembali melepasliarkan dua belas orangutan hasil rehabilitasi dari dua pusat rehabilitasi orangutan Yayasan BOS di Nyaru Menteng Kalteng, dan Samboja Lestari di Kaltim. Pelepasliaran di Kalteng berlangsung di Hutan Lindung Bukit Batikap, sementara pelepasliaran di Kaltim berlangsung di Hutan Kehje Sewen, Jumat (10/11/2023) lalu.
Salah satu individu orangutan yang dilepasliarkan adalah Cici, orangutan betina berusia 19 tahun. Awalnya, Cici direhabilitasi di pusat rehabilitasi orangutan Samboja Lestari, namun kemudian dipindahkan ke Pusat Rehabilitasi Nyaru Menteng. Pemindahan ini dilakukan karena Cici termasuk dalam subspesies Pongo Pygmaeus Wurmbii, yang seharusnya habitat alaminya terletak di kawasan Kalimantan Tengah (Kalteng) dan bagian selatan Kalimantan Barat (Kalbar). Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalteng Sadtta Noor Adirahamta mengatakan, BKSDA Kalteng melepasliarkan delapan orangutan dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng ke Hutan Lindung Bukit Batikap, Kabupaten Murung Raya, Kalteng.
Sementara BKSDA Kalteng bersama Yayasan BOS melepasliarkan empat orangutan dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari ke Hutan Kehje Sewen, yang terletak di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Kaltim. Pelepasliaran di Kalteng dilaksanakan terlebih dulu pada tanggal 6 November 2023, dengan melibatkan lima jantan dan tiga betina. Proses ini dimulai di Nyaru Menteng, di mana orangutan dibawa melalui perjalanan darat sampai ke Kota Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas.
Di Kota Kuala Kurun tepatnya di Bandar Udara Sangkalemu, orangutan akan naik helikopter yang telah disewa dari heli PT. SGI (PT. Sayap Garuda Indah) yang telah menanti. Dari Bandara Sangkalemu, Orangutan kemudian diterbangkan langsung ke titik- titik pelepasliaran di jantung Hutan Lindung Bukit Batikap. “Hutan Lindung Bukit Batikap yang terletak di Kabupaten Murung Raya berjarak cukup jauh dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Nyaru Menteng. Kami butuh 3 hari dan 2 malam untuk mencapai kamp dengan menggunakan mobil dan perahu secara bergantian. Oleh karena itu, pilihan menggunakan helikopter bisa menjadi opsi yang menghemat waktu perjalanan,” tegasnya.
Pemindahan ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa Cici dapat hidup sesuai dengan habitat alaminya. Cici tiba di Nyaru Menteng pada tahun 2013, setelah melanjutkan sepuluh tahun di Pusat rehabilitasi Nyaru Menteng kini ia sudah siap untuk dilepasliarkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pelepasliaran orangutan membutuhkan waktu yang panjang dengan biaya yang tidak sedikit. Sebelumnya, pada tahun 2013, terdapat tiga individu orangutan yang direhabilitasi di Kalimantan Tengah dan berasal dari subspecies Pongo pygmaeus morio yang dilepasliarkan ke Hutan Kehje Sewen di Kalimantan Timur.
Saat melepasliarkan orangutan ini, kami tidak hanya melepaskan individu-individu, tetapi juga harapan untuk masa depan alam liar. Langkah pelepasliaran ini adalah bukti nyata kolaborasi yang kuat antara BKSDA Kalimantan Tengah dan BKSDA Kalimantan Timur dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.
“Kami berharap orangutan-orangutan yang kami lepasliarkan akan mengembangkan diri dan berkontribusi pada ekosistem yang sehat. Keberhasilan ini juga membangkitkan semangat untuk terus berjuang demi konservasi dan pelestarian alam di Indonesiam” ujar Sadtata. Ia menambahkan, pelepasliaran di Kalimantan Timur dilaksanakan setelah proses pelepasliaran di Kalimantan Tengah selesai. Dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari, tim pelepasliaran membawa empat orangutan yang terdiri dari dua jantan dan dua betina, yang berusia antara 13 – 30 tahun, ke pulau pra-pelepasliaran Juq Kehje Swen di Muara Wahau, Kutai Timur. Dari situ, helikopter yang sama telah menanti untuk membawa mereka langsung ke titik pelepasliaran di sisi utara Hutan Kehje Sewen. Hutan Kehje Sewen berjarak cukup jauh dari Pusat Rehabilitasi Orangutan Samboja Lestari, dan mencapainya membutuhkan waktu sekitar 2 hari dan 1 malam dengan menggunakan mobil dan perahu secara bergantian. Waktu perjalanan ini pun sangat bergantung terhadap kondisi lapangan, termasuk kondisi jalan yang rentan terhadap longsor, yang bisa memperlambat transportasi.
“Oleh karena itu, pilihan untuk menggunakan helikopter menjadi sangat penting karena dapat memangkas waktu perjalanan dan mengurangi risiko melintasi jalanan yang rentan terhadap longsor,” tandasnya. Sementara itu, Ketua Pengurus Yayasan BOS Jamartin Sihite mengatakan, komitmen Yayasan BOS dalam melestarikan keberlanjutan orangutan dan habitatnya bersama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tetap kuat. Pelepasliaran dua belas orangutan ini merupakan salah satu bukti dari kerja sama yang erat dengan semua pihak.
Konkretnya mengundang semua pihak untuk bergandeng tangan, bersama sama kita menjaga hutan, yang merupakan rumah bagi orangutan dan keanekaragaman hayati lainnya. Langkah-langkah yang bersama telah kita rancang dan di implementasikan tidak hanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup orangutan, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi berbagai pihak yang memiliki perhatian terhadap konservasi alam.
“Kami di BOSF percaya bahwa dengan bersama dan bergandengan tangan, kita dapat menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan bagi masa depan bumi kitam” pungkasnya. (daq/fm)