SAMPIT – Penyegelan dua perusahaan perkebunan yang diduga terlibat pembakaran lahan direspons pemerintah. Pemkab Kotim mulai mengevaluasi perizinan PT Nusantara Sawit Persada (NSP) dan PT Globalindo Alam Perkasa (GAP). Jika terbukti melanggar, keduanya terancam dicabut izinnya.
”Pemkab akan mencermati terkait syarat-syarat pemberian izin. Kalau ada pelanggaran, bisa saja sanksi terberat berupa pencabutan izin,” kata Kepala Bagian (Kabag) Administrasi dan Pemerintahan Umum (Adpum) Setda Kotim Hawianan, Jumat (25/9).
Menurut Hawianan, sampai saat ini Pemkab Kotim masih menghormati proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jika memang nanti kewenangannya dilimpahkan ke Pemkab Kotim, pihaknya segera menganalisa apa yang harus dilakukan. Namun, langkah mengevaluasi perizinan memang harus dilakukan pemerintah daerah, karena dua perusahaan tersebut berada di wilayah Kotim.
”Penyegelan ini dilakukan oleh pihak yang berwenang, saat ini kami tunggu hasil tindak lanjutnya, tetapi evaluasi perizinan tetap kami lakukan,” tegasnya.
Terkait pelanggaran yang dilakukan kedua perusahaan selama ini, diakui Hawianan, berdasarkan laporan dan catatan yang ada, memang PT NSP dan PT GAP belum pernah melakukan pelanggaran perizinan. Tetapi, alasan ini tidak berarti Pemkab Kotim lepas tangan begitu saja. Evaluasi tetap akan dilakukan bersamaan dengan proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian dan KLHK.
Begitu juga, terkait kepastian apakah dua perusahaan ini masih beroperasi, Hawianan masih belum dapat memastikan. Menurutnya, untuk mengetahui permasalahan ini harusnya ditanyakan langsung oleh Asisten II Setda Kotim Halikinnoor. Namun, saat dihubungi Radar Sampit melalui sambungan telepon dan pesan singkat, Halikin tidak merespons.
”Saat ini kami melakukan apa yang menjadi kewenangan daerah, tindakan tegas akan kami lakukan, agar perusahaan lain tidak ada yang melanggar,” ucapnya.
Seperti diketahui, KLHK menyegel sepuluh perusahaan yang terlibat kebakaran lahan di wilayah Kalteng, dua di antaranya berada di Kotim. Sebelumnya, Kepala Sub Direktorat Penyidikan Perusahaan Lingkungan, Kebakaran Hutan dan Lahan, KLHK, Shaifuddin Akbar, pihaknya sedang mendalami bukti sehingga bisa ditingkatkan ke proses penyidikan.
Menurut Shaifudin, penyegelan berupa pemasangan plang dan pemberian PPNS line itu bertujuan untuk menahan sementara lokasi bekas terjadinya kebakaran, sehingga tidak dibersihkan atau diutak-atik.
”Sudah ada dua orang yang terindikasi kuat menduduki status tersangka. Mengenai siapa dia, nanti ya. Yang jelas saat ini masih dalam penyelidikan. Itu dari 10 perusahaan yang disegel,” jelasnya, Kamis (24/9).
KLHK tetap berpegang pada Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada pasal itu ada pula delik pidananya, yakni pasal 98 dan 9 serta108 tentang pembukaan lahan dengan cara membakar.
” Dalam Pasal 98 UU Kehutanan, ancamannya minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun penjara dengan denda minimal Rp 3 miliar dan maksimal Rp 10 miliar,” tegasnya. (tha/dwi)